Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari-Hari di Stroke Center : Masa-Masa Paling Sepi Dalam Hidupku




Judul di atas terasa agak dramatis, dan mungkin saja berlebihan.

Tapi itu adalah yang senyatanya kurasakan. 3 hari di Stroke Center jadi hari paling lama, sunyi, dan tentu saja paling berat yang pernah aku alami.

Stroke Center adalah ruang ICU yang dikhususkan untuk pasien stroke. Ketika ia sampai di ruangan itu, suster langsung meminta kami untuk membuka semua baju di badan Danar. Dia hanya boleh memakai pampers dan selimut, sebab akan ada banyak alat yang menempel di tubunnya, mulai dari alat tensi, alat untuk ngecek detak jantungnya, saturasi oksigennya, dan tentu selang makan.

Ya, karena Danar mengalami penurunan kesadaran, ia tidak bisa makan seperti biasa. Karena itu, ia harus diet cair, dan makan pakai selang makan. Semua itu untuk menghindari risiko tersedak yang bisa sangat berbahaya untuknya.

Aku hanya menyetujui saja ketika ditanya apakah bersedia suaminya dipasang selang makan? Karena aku tahu itulah yang terbaik untuknya.

Selama di ICU, Danar hanya tertidur, atau dia tak sadar. Entahlah. Aku tak tahu.

Tapi yang pasti ia hanya sesekali membuka matanya, menatap kosong atau mencoba bangun dan mencari tahu ia sedang di mana. Jika sudah begitu, aku hanya bisa menangnkannya atau memaksanya untuk tidur. Sebab bangun akan jadi sangat bahaya juga untuknya untuk saat ini. Ia harus melakukan tirah baring sampai dokter mengizinkannya untuk bangun.

Selama itu, aku menghabiskan waktu untuk menatapnya, tentu sambil berpikir apakah ini nyata?

Sesekali aku juga menangis. Menangis karena saat itu aku merasa sangat takut. Kematian dan kehilangan rasanya sangat dekat, dan semua itu sangat sangat membuatku ketakutan.

Beberapa kali sehari, ibuku akan meneleponku. Ia akan mengajakku mengobrol berbagi cerita, dan tentu saja menguatkanku.

Bukan dengan kalimat-kalimat klise, seperti "Sabar ya! Semua ini pasti akan berlalu kok!" 

Ibuku justru berbicara dengan nada tegas dengan kata-kata yang sangat masuk akal "Berhentilah menangis, tangisanmu tak ada gunanya sekarang dan hanya akan memperburuk keadaan."

Ya, ibuku benar. Menangis hanya akan memperburuk keadaanku sekarang. Sebab menangis menyita seluruh energiku, dan membuatku lebih banyak memikirkan hal buruk karena rasa takut. 

Karena ketakutan, tiap kali mendapat kunjungan dokter, aku langsung mencari tahu banyak hal soal kondisinya, di internet. Ya, itu sebenarnya keputusan yang benar-benar tak bijak, sebab semua itu hanya membuatku makin takut, makin banyak menangis, dan tentu makin kelelahan.

Menangis benar-benar tak berguna untukku, karena energiku benar-benar habis untuk merawat Danar, mengganti pempers, memandikannya, menjawabi pertanyaan tiap orang yang berkunjung, dan tentu, mendengar diagnosa dokter, serta menerima semua kenyataan ini. Semua sangat melelahkan secara fisik dan mental. 

Dan menangis, hanya makin membuatku kelelahan. Hari ketiga di rumah sakit, aku memutuskan untuk berhenti menangis. Tak lupa aku juga menuruti kata-kata ibuku untuk menggunakan hapeku hanya untuk bersenang-senang, menonton drama atau sekedar berbincang dengan teman. Semua itu ternyata sangat sangat membantuku. Aku jadi bisa lebih tenang, dan tentunya lebih fokus untuk merawat Danar.

Tapi di tengah waktu-waktu itu, aku tak memungkiri betapa kesepiannya aku. Biasanya aku tak pernah berbicara banyak selain dengan Danar. Biasanya aku membagikan semuanya kepadanya. Dan, aku sudah seperti itu sejak kami baru kenal ketika aku masuk kuliah. 

Membagikan cerita dan memperoleh responnya adalah hal yang sudah jadi habitku sejak dulu, dan kini, Danar hanya menawarkan kesunyian, karena afasia yang ia derita, dan itu tidak bisa tidak membuatku merasakan perasaan yang lebih buruk dari sedih.

Afasia adalah gangguan komunikasi. Penderitanya bisa kesulitan untuk memahami, dan juga merespon baik secara verbal atau tulisan. Gampangnya, kalau di Danar ia lupa bagaimana caranya berbicara. 

Posting Komentar untuk "Hari-Hari di Stroke Center : Masa-Masa Paling Sepi Dalam Hidupku"