Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Ibu Baru : Persalinanku dan Kelahiran Puisi

Sumber : Pexels by Micah Boerma


5 Juni 2022 jadi hari yang bersejarah buatku. Hari itu, anakku lahir, dan di saat yang sama aku juga terlahir jadi seorang ibu. Hal itu menjadi suatu hal yang sangat luar biasa. Pengalaman melahirkan untuk pertama kalinya membuat hidupku berubah banyak, sangat banyak.

Aku melahirkan secara sectiocaesari. Suatu proses yang benar-benar jauh dari rencanaku. Jika dulu di awal aku berharap bisa melahirkan pervaginam, melalui tahap demi tahap sakitnya pembukaan, hingga aku bisa berjumpa dengan buah hatiku, tapi segala hal sering kali jauh dari harapan. Ketubanku rembes, sementara bukaan sama sekali belum ada.

Panik? Iya, sedikit. Aku segera mengunjungi bidan, memastikan semuanya baik-baik saja. Ternyata tidak juga. Detak jantung janinku turun dan berada di bawah normal. Hanya 114 detak per menit, padahal harusnya Mina 120. Rasanya aku mau menangis saking takutnya saat itu.

Untungnya bidan menenangkan kami, ia mengatakan ada banyak faktor mengapa detak jantung bayi bisa di bawah normal. Bisa karena aku belum makan, atau beberapa faktor lainnya. Ia menyarankan untuk sekali lagi memeriksa detak jantung janin. Aku sepakat, sambil berdoa, fetal dopler kembali ditempelkan ke perutku. Layar menampilkan beberapa angka, 116, bidan kembali mencoba, angka itu perlahan berubah, 117, 117, 118, 119. Angka berkedip-kedip. Tidak ada penambahan lagi.

Bidan kemudian menenangkanku. Ia memintaku pulang, makan, utamanya makanan yang mengandung banyak zat besi, dan kembali lagi sekitar empat jam lagi.

Aku pulang, mengikuti semua saran bidan, aku mencoba membuat diriku setenang mungkin. Aku paham, segala kepanikan tidak akan membantu apa-apa, bahkan hanya akan menambah masalahku.

Empat jam kemudian.

Fetal dopler kembali ditempelkan ke perutku. Aku berdebar. Tapi bidan tampak tersenyum lega. Aku ikut lega. Detak jantung bayiku sudah kembali normal. Hari itu, aku diminta untuk mengunjungi obgynku. Aku perlu melakukan USG untuk memastikan kondisi air ketubanku. Karena rembes, bisa jadi kondisi ketuban semakin menipis, bahkan mungkin sudah berubah keruh. Apalagi, kehamilanku sudah menginjak 42 minggu. Sudah sangat cukup umur.

Kami pun mengunjungi obgyn langganan. Cukup jauh karena kami harus menuju kota Kediri, sekitar 20 kilometer dari rumah. Di sana sudah ada banyak sekali orang. Aku dapat nomor 24. Hampir terakhir. Aku tiba pukul tujuh dan baru dapat giliran pukul setengah sepuluh. Pinggangku luar biasa pegal, tapi untungnya kondisi janinku, plasentaku, juga ketubanku tidak ada masalah. Segalanya aman-aman saja. Aku kembali merasa lega.

“Tapi Mbak, karena ini sudah mulai rembes, sebaiknya segera dilahirkan ya!” ucap dokter Ardi padaku. Ia lantas memberikan pengantar untuk bidanku, dan memintaku segera ke rumah sakit malam ini atau paling lambat besok pagi. Aku mengangguk, menurutinya.

Danar lantas menelepon semua orang. Mengabarkan kalau semuanya baik-baik saja. Kami melalui malam itu dengan penuh syukur, namun juga masih agak berdebar, sebab artinya, tak lama lagi kami akan melalui persalinan. Kami akan bertemu dengan buah hati kami, namun di saat yang sama kami juga menyadari bahwa proses itu sama sekali tak mudah.

Jujur, saat itu terselip sedikit rasa takut pada diriku. Tapi lagi-lagi aku memilih untuk mengabaikannya. Aku tak ingin terhanyut dalam ketakutanku.

Berangkat Ke Rumah Sakit Rujukan Untuk Persalinan

Pagi, 4 Juni 2022.

Aku kembali mengunjungi bidan. Hari ini kami akan berangkat ke rumah sakit rujukan. Aku memilih rumah sakit DKT Kediri. Berdasarkan pertimbangan bapak dan hasil tanya-tanya teman, mereka bilang bahwa rumah sakit itu punya pelayanan yang cukup oke.

Tiba di rumah sakit, seorang suster langsung mengurusku. Ia memasang infus, melakukan tes antigen, dan memintaku menunggu, sementara Danar mengurus semua berkasku. Aman. Urusan lancar, tak lama kemudian aku dibawa ke ruang observasi.

Aku pikir aku akan segera ditangani. Tapi aku hanya diminta menunggu. Paling tidak selama beberapa jam hingga seorang suster mendatangiku. Ia menanyaiku, apakah aku ingin diinduksi? Sebab saran dari obgynku sebaiknya aku diinduksi, tapi tetap saja semua keputusan ada di tanganku. Aku yang akan melalui semua prosesnya, menanggung semua risikonya, dan karena itulah aku yang akan menentukan segalanya.

Induksi punya beberapa kekurangan. Aku dan Danar sadar benar dengan hal ini. Aku bisa tak kuat dengan rasa sakitnya, atau bahkan anakku yang akan stress karenanya. Sebab itulah kami sangat hati-hati untuk mengambil tindakan ini. Kami harus memikirkan semua hal itu, ditambah resiko bila induksi gagal sementara operasi hanya dilangsungkan di pagi hari saja.

Kami menimbang-nimbang. Keputusannya kami tak akan melakukan induksi sampai malam. Durasi obat adalah delapan jam. Artinya, bila induksi pertama gagal, akan dilakukan induksi untuk kedua kalinya di malam hari. Kami khawatir kemungkinan buruk terjadi, sementara operasi, yang bakal jadi opsi terakhir hanya dilangsungkan sekali di pagi hari, bisa jadi terlalu lama ditunggu atau bahkan terlewatkan.

Akhirnya, tak ada hal lain yang kulakukan selain menunggu.

Kami menunggu dalam bosan. Kadang sedikit becanda, makan jajan, makan makanan rumah sakit. Tak boleh sama sekali keluar, sebab ketubanku sudah rembes dan aku tak boleh banyak bergerak.

Malam tiba, seorang suster kembali mendatangi kami. Tapi ia suster yang berbeda dan ia tampak kesal denganku karena tak mengikuti saran dokter. Katanya, untuk apa aku di bawa ke sini jika tak mau mengikuti saran paramedis. Aku dan Danar hanya diam. Kami kembali diminta untuk melakukan induksi. Kali ini kami bersedia, sesuai dengan rencana kami berdua.

Obat untuk induksi pun disuntikkan ke infusku. Aku berdoa, berharap janinku kuat, dan aku bisa menanggung rasa sakitnya. Doaku terkabul, bukan hanya kuat menanggung rasa sakit saja, tapi obat itu bahkan tak membawa reaksi apa-apa. Aku bahkan bisa tidur nyenyak sekali dan baru terbangun ketika suster yang kemarin mengomeliku, membangunkanku. Ia harus memeriksa pembukaanku.

Ada hal lucu ketika suster itu datang, Danar saat itu tertidur di bawah beralas tikar yang Mama bawa malamnya. Ia awalnya ingin menginap di rumah sakit, karena itu ia bawa banyak bantal dan selimut. Tapi aku pikir segalanya belum pasti, tak akan ada tindakan malam ini. Aku pikir Mama lebih baik pulang dulu karena ia kelelahan, menunggui Dok yang baru pulang dari ICU RS Baptis.

Nah, kembali lagi ke Danar, ia benar-benar susah dibangunkan. Dipanggil-panggil tak ada reaksi, sementara susternya masih menunggu. Aku sampai harus turun dari kasur dan menggoyang-goyangkan badannya berkali-kali, barulah ia bangun dengan wajah cengo karena pusing bangun dadakan.

Rasanya ingin sekali aku tertawa kala mengingatnya.

Suster memeriksaku kembali. Auh, rasanya tak nyaman sekali. Ia bilang pembukaanku tidak mamah, bayiku masih belum turun. Ia akan menanyakan pada dokter sebaiknya harus bagaimana.

Ternyata dokter menyarankanku untuk Caesar. Aku pasrah. Ketubanku sudah rembes dari dua hari yang lalu, sementara pembukaan tidak bertambah. Bagaimanapun bayi ini haruslah dikeluarkan bagaimanapun caranya agar ia baik-baik saja. Caesar memanglah keputusan terbaik. Aku menyatakan persetujuanku dengan cepat.

Proses Persalinan Caesar Anakku

Pukul empat pagi Danar menandatangani berbagai dokumen yang dibutuhkan. Tak ada waktu untuk mengabari keluarga. Kami bergerak cepat. Jam lima aku sudah siap masuk kamar operasi. Rasanya sangat sepi dan berdebar. Aku mencoba menghalau berbagai pikiran buruk yang mendatangiku. Aku pun mulai melamunkan hal-hal aneh seperti mengamati ruangan, ada berapa bayi yang telah terlahir di ruangan ini, dan bagaimana mereka sekarang. Begitulah pertanyaan-pertanyaan tak penting semacam itu telah membantuku melalui waktu selama menunggu.

Tak lama, dokter anestesi datang bersama beberapa perawat. Aku hampir tak memakai sehelai baju pun. Tapi aku tak malu, yah karena aku mau lahiran, dan masa perawat yang semuanya laki-laki sempat-sempatnya berpikir yang tidak-tidak. Lagipula mereka juga sudah terikat dengan kode etik.

Prosedur anestesi pun segera dilakukan. Aku agak takut, tapi berusaha rileks, bernapas panjang dengan tenang. Ternyata itu sangat membantu. Dua kali aku harus disuntik, karena awalnya tak berhasil. Di percobaan kedua, kakiku dan lantas separuh tubuhku merasa mati rasa. Aneh dan ajaib. Proses anestesi juga ternyata tak sesakit yang kubayangkan. Aku baik-baik saja.

Dokter obgynku datang. Aku tak bisa melihat semua proses persalinan karena sebuah kain yang ditutupkan di atas perutku. Selama proses, kasurku serasa bergoyang-goyang, kadang ada suara alat buat menyedot darah. Dadaku berdebar kencang selama semua proses itu berlangsung, sedikit sesak nafas, dan aku berusaha keras mempertahankan kesadaran.

Hanya beberapa menit setelah dokter datang, aku mendengar tangisan. Anakku lahir. Ia yang kami nantikan telah hadir keduanya, dan aku akan jadi pribadi yang benar-benar berbeda setelah ini. Aku sudah jadi ibu.

Posting Komentar untuk "Cerita Ibu Baru : Persalinanku dan Kelahiran Puisi"