Mengurban
Sebagai seorang anak yang dari lahir udah tinggal di desa, aku sadar bahwa aku sebenarnya tak sepenuhnya menjadi anak desa.
Mungkin, kalau dilihat dari tempat aku tinggal, sebuah desa di kaki Gunung Wilis yang walau sudah memakai telkomsel masih sulit betul mengirim dan menerima pesan dari WA, aku bisa dibilang sebagai anak desa. Tapi, sekali lagi kusebut, aku tak menjadi anak desa sepenuhnya.
Terlahir dari keluarga yang bukan petani, membuatku jauh dari kultur orang desa. Keluargaku, meskipun sempat beberapa musim menanam cabe, dan aku pun sering ikut melubangi mulsa, menanam bibitnya, menancapkan lanjarannya, dan memanen buah-buahnya ketika sudah masak, bahkan juga tak jarang ikut Mama ke Pasar Bongkaran untuk menjual cabe-cabean itu, namun sebenarnya adalah pedagang. Nenek uyut, kakek nenek, dan bapak ibu adalah pedagang pasar. Kami lebih dekat dan menjadi lebih leluasa pada perubahan nilai-nilai. Untuk kasusku, ibu sangat mendukung pendidikanku di sekolah umum, dimanapun itu asal masih bisa sering pulang, aku suka buku, dan bersekolah di tempat yang jauh dari desaku sejak SMP hingga sekarang
Pengalamanku tentang kehidupan di desa, terputus sampai masa kecilku saja, dan jiwa orang tani tak tada pada diriku. Jiwa itu adalah pekerja keras, sederhana, suka berbagi, gemi lan nastiti. Aku justru tumbuh menjadi seorang manusia modern yang mencintai kemudahan, hal-hal yang biar gampang dan cepat selesai, plus tidak capek,menekankan kepemilikan pribadi, dan konsumtif. Jiwa itu pun masih belum tertanam meski selama beberapa musim keluargaku menanam kangkung di halaman belakang, dan lantas menggantinya dengan jeruk tepat sebelum pengumuman SBMPTN ku keluar.
Buku-buku, dan mimpi untuk menjelajahi dunia, begitu menghipnotisku. Aku pun juga asing dengan teman main waktu kecil dulu, hal yang membuatku makin asing dengan desaku, membuatku semakin tak mengenal akar dimana aku lahir dan dibesarkan. Barangkali teman mainku dulu juga mengalami keasingan yang sama. Berbeda denganku, mereka mungkin sibuk dengan kenalan baru di facebook, meng-sms lawan jenis yang mereka suka, atau merantau ke Kalimantan jadi kuli di kebun sawit, atau ke Sulawesi jadi kuli batu. Aku menjadi semakin asing dan terasing.
Kemajuan jaman dan desa yang mungkin masih tetap sama, dengan orang tua yang fanatik agama, dan sinyal yang susahnya bukan main, membuatku merasa begitu terasing dari dunia yang bergerak serba cepat. Aku ingin lebih. Dulu aku sempat ingin menetap di desaku, tapi aku pikir aku sepakat dengan pendapat kakakku, bahwa tinggal di kota adalah hal yang lebih baik buat kami, sebab kami sudah mengurban sedari kecil.

Posting Komentar untuk "Mengurban"