Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengurban

Sebagai seorang anak yang dari lahir udah tinggal di desa, aku sadar bahwa aku sebenarnya tak sepenuhnya menjadi anak desa. 

Mungkin, kalau dilihat dari tempat aku tinggal, sebuah desa di kaki Gunung Wilis yang walau sudah memakai telkomsel masih sulit betul mengirim dan menerima pesan dari WA, aku bisa dibilang sebagai anak desa. Tapi, sekali lagi kusebut, aku tak menjadi anak desa sepenuhnya.

Rumahku ada di dekat sawah, kalo mau ke sawah aku tinggal jalan saja, tiga ratus meter meter ke belakang rumah, lewat kebun tebu, kebon jagung, dan taraaa aku sudah ada di sawah. Mungkin aku bisa bilang, aku masih mengalami masa kecil sebagaimana anak desa. Kami, aku dan teman-temanku, masih main di sawah, menerbangkan layangan, mencari kul kuning, yang kalau salah mengolah bisa buat kepala kliyengan, membuat gulali dari gula merah yang dimasak di atas kaleng susu bekas, bermain loncat (lompat tali), gedrik (engklek), apollo, boi, gatengan, bola bekel, betengan, dan masih banyak lagi. Namun semua itu tak berlangsung lama, sebagaimana perdamaian dunia setelah negara api menyerang. Yah, kami harus memilih jalan hidup masing-masing. Tapi bukan itu yang aku pikirkan, sebab memilih jalan hidup masing-masing adalah hal wajar yang setiap orang akan jalani. Ternyata dalam fase itu, terutama aku, menjadi semakin asing dengan kehidupan desa.

Terlahir dari keluarga yang bukan petani, membuatku jauh dari kultur orang desa. Keluargaku, meskipun sempat beberapa musim menanam cabe, dan aku pun sering ikut melubangi mulsa, menanam bibitnya, menancapkan lanjarannya, dan memanen buah-buahnya ketika sudah masak, bahkan juga tak jarang ikut Mama ke Pasar Bongkaran untuk menjual cabe-cabean itu, namun sebenarnya adalah pedagang. Nenek uyut, kakek nenek, dan bapak ibu adalah pedagang pasar. Kami lebih dekat dan menjadi lebih leluasa pada perubahan nilai-nilai. Untuk kasusku, ibu sangat mendukung pendidikanku di sekolah umum, dimanapun itu asal masih bisa sering pulang, aku suka buku, dan bersekolah di tempat yang jauh dari desaku sejak SMP hingga sekarang

Pengalamanku tentang kehidupan di desa, terputus sampai masa kecilku saja, dan jiwa orang tani tak tada pada diriku. Jiwa itu adalah pekerja keras, sederhana, suka berbagi, gemi lan nastiti. Aku justru tumbuh menjadi seorang manusia modern yang mencintai kemudahan, hal-hal yang biar gampang dan cepat selesai, plus tidak capek,menekankan kepemilikan pribadi, dan konsumtif. Jiwa itu pun masih belum tertanam meski selama beberapa musim keluargaku menanam kangkung di halaman belakang, dan lantas menggantinya dengan jeruk tepat sebelum pengumuman SBMPTN ku keluar. 

Buku-buku, dan mimpi untuk menjelajahi dunia, begitu menghipnotisku. Aku pun juga asing dengan teman main waktu kecil dulu, hal yang membuatku makin asing dengan desaku, membuatku semakin tak mengenal akar dimana aku lahir dan dibesarkan. Barangkali teman mainku dulu juga mengalami keasingan yang sama. Berbeda denganku, mereka mungkin sibuk dengan kenalan baru di facebook, meng-sms lawan jenis yang mereka suka, atau merantau ke Kalimantan jadi kuli di kebun sawit, atau ke Sulawesi jadi kuli batu. Aku menjadi semakin asing dan terasing.

Kemajuan jaman dan desa  yang mungkin masih tetap sama, dengan orang tua yang fanatik agama, dan sinyal yang susahnya bukan main, membuatku merasa begitu terasing dari dunia yang bergerak serba cepat. Aku ingin lebih. Dulu aku sempat ingin menetap di desaku, tapi aku pikir aku sepakat dengan pendapat kakakku, bahwa tinggal di kota adalah hal yang lebih baik buat kami, sebab kami sudah mengurban sedari kecil. 

Posting Komentar untuk "Mengurban"