Catatan : Jeritan Lirih, Kenzaburo Oe
Alhamdulillah (terdengar religius sekali ya haha) tiga hari lalu selesai baca Jeritan Lirih-nya Kenzaburi Oe. Buku itu kubaca cukup lama, sekitar tiga minggu kurasa. Isinya yang lumayan membuat orang mengulang-mengulang kalimatnya dan aku yang terlampau malas yang jadi alasannya ( dua hari baca, dua hari sekipp). Aku bisa bilang buku itu mengurai banyak hal tentang manusia, relasi dengan dirinya sendiri, orang, ruang dalam hal ini kampung halaman yang terasa asing dan mengasingkan tokohnya, waktu, yaitu masa lalu, trauma, penyesalan, juga depresi, dan penghukuman pada diri sendiri.
Novel karya penulis Jepang yang pertama kubaca, dan ternyata rumit sekali isinya. Kisahnya berpusat pada tokohnya, dua bersaudara keturunan Nedokoro, Takashi dan Mitsusaburo. Dua kutub amat berbeda, yang selalu saling bertolak belakang, soal tampilan, pandangan terhadap sejarah keluarga, dan sikap yang kemudian lahir atas pandangan itu.
Sejujurnya aku belum bisa memahami sepenuhnya novel ini. Terlalu rumit, terlalu berat, dan gelap. Tapi sebisa mungkin aku akan cerita (wkwkwk maksa).
Berlatar belakang tahun 1960, novel ini banyak membicarakan soal masa lalu. Masa lalu yang membentuk diri dan sikap mereka sekarang. Masa lalu yang justru banyak mereka renungkan dan pertentangkan. Mulai dari peristiwa pemberontakan petani yang terjadi seratus tahun lalu, masa ketika kakek buyut mereka hidup. Pemberontakan itu dipimpin oleh adik kakek buyut, dan pemberontakan yang harus dibuat untuk menyalurkan perasaan memberontak diantara petani itu gagal, menyebabkan kematian banyak pemuda, tapi adik kakek buyut sendiri selamat. Hal itu menjadi perdebatan diantara Takashi dan Mitsusaburo.
Takashi memandang bahwa adik kakek buyut adalah sosok heroik, melakukan pemberontakan untuk membebaskan para petani, suatu hal yang dianggap Takashi, berulang pada S, saudara mereka yang mati dikeroyok orang-orang Korea karena dianggap membuat onar di perkampungan. Sementara Mitsu justru memandang keduanya pengecut. Satu meninggalkan pengikutnya dalam kehancuran menghadapi kematian, sementara yang satu mati dalam kepengecutan alias ditumbalkan. Bagi Mitsu tak ada yang heroik dari mereka, tak seperti yang dibayangkan oleh Takashi, dan karena itu mati matian ia menolak pandangan Takashi dan sikapnya yang ingin menghidupkan kembali pemberontakan para petani. Hal itu dimulai dengan membentuk tim sepak bola para pemuda, dan dari tim sepak bola itu banyak kerumitan dimulai.
Jujur membaca novel ini membuat saya cukup merasa kewalahan. Terasa sesak sekali ketika masuk dalam semesta pikiran Mitsu yang penuh kepesimisan akan hidup yang dia jalani, perasaan sepi yang ia pilih, makin sesak ketika perlahan-lahan kita dibukakan luka yang Takashi bawa, luka yang membuatnya menghukum dirinya seumur hidup. Luka itu adalah kebenaran yang hanya akan membawanya pada dua pilihan, mati dibunuh atau mati bunuh diri. Hanya itu. Dan, akhirnya Takashi sendiri memilih menembak dirinya meninggalkan luka seperti buah delima terbelah pada kepalanya.
Novel ini terasa begitu gelap. Diwarnai banyak trauma dan luka yang
dibawa dari masa lalu, juga perasaan asing yang kuat sekali, mencoba
memberi uraian tentang hal-hal yang tak mungkin terjelaskan, yaitu
manusia.Tapi meski novel ini teramat rumit, jujur saja saya suka, walau tak ingin membacanya kedua kali. Novel ini jadi perkenalan pertama yang kurang menyenangkan, tapi buat penasaran. Membacanya kita akan melihat bagaimana kehidupan di pedesaan Jepang tumbuh setelah perang. Bagaimana mereka hidup mereka berjalan ketika Korea masih menjadi jajahan Jepang, dan setelah perang usai. Bagaimana kehidupan berubah, budaya terkikis, dan kuasa ekonomi bergeser. Tidak sabar untuk menjelajah novel-novel Jepang yang lain.
Kurasa sekian dulu ya. Ini cuma catatan kecil, remah-remah. Dan tetap saja, ada banyak hal yang tak saya pahami dari novel ini hehe.
Posting Komentar untuk "Catatan : Jeritan Lirih, Kenzaburo Oe"