Kim Ji Young Born 1982 dan Perjuangan Menciptakan Dunia Yang Setara
Sebagai seorang perempuan, aku juga tinggal di lingkungan yang dominan perempuan. Aku punya satu saudara dan dia perempuan, ibuku hampir semua saudaranya adalah perempuan (aku punya tiga orang bibi, dan hanya satu paman dari pihak ibu), sepupu-sepupu yang kebanyakan adalah perempuan, seorang keponakan perempuan, tetangga-tetangga perempuan, baik yang belum menikah, ibu muda, bahkan yang sudah bercucu, juga teman-teman yang kutemui ketika berkuliah, kebanyakan juga perempuan.
Lingkungan itu, terutama lingkungan pertemanan kampus yang mengajakku berpikir kritis, membuatku, merasakan dan menyadari bahwa budaya kita masih meletakkan perempuan dan laki-laki, dalam relasi yang timpang. Dan, hal itu membuatku merasakan banyak sekali keterkaitan dengan scene-scene yang ditampilkan di film Kim Ji Young Born 1982 yang baru saja kutonton kemarin malam. Karena itulah selama 113 menit menonton, film Korea Selatan itu terasa menyakitkan dan melelahkan sekaligus (aku menangis di hampir separuh film).
Ada beberapa poin yang akan kubahas dalam bundelan catatanku ini, hal-hal yang terutama kurasakan seperti memori lama yang tiba-tiba muncul dalam kepalaku ketika menonton film ini.
Tapi sebelum itu, akan menjelaskan sedikit tentang garis besar film ini.
Kim Ji Young Born 1982 itu film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Film ini mengkritik relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya Korea (meskipun banyak scene juga relevan dengan kondisi di Indonesia), yang menyubordinasi perempuan. Berbagai narasi itu ditampilkan dalam peristiwa keseharian tokohnya, Kim Ji Young. Film ini terasa realistis sekali, dan aku sendiri merasakan keterhubungan dengannya karena itu.
Misalnya, ketika melihat Kim Ji Young menjalani kesehariannya sebagai seorang ibu rumah tangga yang terasa repetitif, membosankan dan melelahkan, aku dengan mudah bisa melihat diriku sendiri, ibuku, kakakku, dalam narasi itu. Mengurus rumah tangga, alias kerja domestik merupakan kerja reproduktif. Mengapa disebut kerja reproduktif? Karena kerja domestik adalah kerja yang dilakukan untuk merawat manusia, membuat manusia bisa terus hidup dan melakukan kerja yang berguna bagi masyarakat (soal ini bisa kalian baca di thread @kenndaru yang bicara soal "Apakah menjadi Ibu Rumah Tangga adalah bagian dari penindasan patriarki atau pilihan bebas bagi perempuan?"). Dari sini kita bisa tahu bahwa kerja ini penting sekali perannya. Namun, sayangnya dalam kacamata masyarakat kita, bahkan hari ini, kerja domestik cenderung masih dilihat hanya menjadi tanggung jawab perempuan. Bahkan, meskipun perempuan-perempuan dalam keluargaku sebenarnya juga berkarier, tapi pandangan mereka lebih ke bekerja boleh, asal tanggung jawab mengurus keluarga jangan sampai lupa. Pandangan ini tentu makin menguatkan bahwa kerja domestik dilihat hanya menjadi tanggung jawab perempuan (Meski ada beberapa kasus yang tidak begitu, tapi kurasa jumlahnya masih sedikit, keluarga yang meletaknya tanggung jawab rumah tangga tidak hanya di pundak perempuan saja). Walau, dalam beberapa kesempatan, dalam rumahku sendiri, bapak kadang mencuci piring, juga mencuci bajunya sendiri (soal kesediaan mencuci piring dan mencuci baju ini adalah kemajuan dalam lintasan keseharian keluarga kami yang panjang), tapi itu adalah kerja-kerja yang sifatnya lebih ke sukarela, bukan wajib untuk dilakukan. Sebab, ibu terkadang masih mencucikan baju bapak jika bapak tidak mencucinya, tapi tidak sebaliknya.
Kim Ji Young sendiri menjadi ibu rumah tangga setelah ia hamil, tentu dengan melepaskan kariernya. Kerja-kerja yang dilihat hanya menjadi tanggung jawab perempuan ini, ditambah banyak sekali penilaian yang dilekatkan masyarakat terhadap perempuanyang menjadi ibu rumah tangga, membuatnya merasa terjebak. Ia merasa kelelahan luar biasa, tidak memiliki kepercayaan diri, karena merasa tak memiliki pencapaian apa-apa dan tentunya bosan, tapi tidak menemukan jalan keluar untuk semua ini, segalanya terasa buntu. Semua terasa begitu gelap dan berat bagi Ji Young hingga ia mengalami depresi parah, terkadang ia berubah menjadi orang lain, ibunya, kakaknya, neneknya saat sitausi terasa sangat menekannya. Tapi, ketika seperti menemukan jalan dengan kembali bekerja, ia harus berhadapan dengan pandangan-pandangan tentang ibu yang meninggalkan anakanya untuk bekerja adalah ibu egois, yang seringkali dilekatkan pada perempuan bekerja, tapi tidak pada laki-laki. Hal ini bahkan juga dilakukan perempuan pada sesama perempuan. Menyakitkannya, akupun pernah melakukannya pada kakakku, ketika dia memutuskan untuk bekerja, hal yang sungguh kusesali.
Tapi, ketika dia menjadi ibu rumah tangga, menjalani kerja domestik yang bejibun, seakan tak berkesudahan, sangat melelahkan dan membosankan, masyarakat pun menyebutnya tidak melakukan apa-apa, dan justru mengatakan bahwa ia enak sekali, bisa bersantai menikmati kopi yang dibeli dengan gaji suaminya. Aku rasa, kita disini, tak asing dengan pandangan semacam, bahwa kerja domestik yang kita lakukan dipandang tak penting dibanding karier yang dijalani, bagaimanapun pentingnya peran yang dimiliki seperti yang telah kusebutkan tadi. Dan, bahkan masih ada orang, yang dari pengalamanku adalah kebanyakan laki-laki, melihat bahwa kerja itu adalah imbalan yang diberikan pada laki-laki karena"dianggap" sudah bekerja keras mencari nafkah.
Meskipun banyak mengangkat narasi mengenai tekanan yang dialami Kim Ji Young sebagai seorang ibu rumah tangga, film ini sebenarnya lebih bicara posisi Kim Ji Young sebagai perempuan Korea Selatan, yang sayangnya banyak juga kutemukan dalam keseharian kita :( . Kita akan melihat banyak narasi disana, yang meskipun disampaikan dalam tempo penceritaan yang pelan, namun mengucapkan kritiknya dengan teramat keras. Ia membicarakan Kim Ji Young sebagai seorang putri, yang ayah dan neneknya lebih mengutamakan adik laki-lakinya dibandingkan ia dan kakak perempuannya, seorang menantu yang mertuanya menuntutnya untuk segera mempunyai anak, tak peduli bagaimana itu akan merubah hidupnya, dan ia harus selalu mengutamakan suaminya dibandingkan dirinya sendiri, seorang pekerja perempuan yang harus rela tidak diikutkan proyek yang mampu dan ingin ia lakukan, karena pekerja perempuan dianggap tidak bisa menjalani jenjang karier yang panjang (sebab ia harus mengorbankan banyak hal), juga seorang perempuan yang nyaris menjadi korban pelecehan ketika scene flashback saat Ji Young masih sekolah. Scene itu membuatku menangis pertama kali dan keras (asli keras banget sampai sesenggukan gitu), saking menakutkannya.
Bayangkan, kamu pulang, sendirian, lalu ada cowok mepetin kamu sepanjang jalan, di bis. Mencurigakan? Iya! Bikin takut? Pasti! Tapi, Ji Young memilih diam, hanya kasih isyarat ke ibu di sebelahnya untuk pinjam handphone dan sms bapaknya untuk jemput segera. Nah, pas turun, cowok itu ikutan turun, jalanan sepi, karena sudah malam, bisa dibayangkan kan apa yang cowok itu mau lakukan? (Semoga diantara orang yang baca blog ini nggak ada yang mikir "salah sendiri, ngapain cewek pulang malam-malam". Pengen kugetok kepalanya kalau sampai ada). Untungnya, hal buruk itu tidak sampai terjadi, ibu yang tadi pinjemin dia HP turun, pura-pura syal Ji Young ketinggalan, dan cowok itu pergi. Asli, itu melegakan banget sih. Kemudian bapak Ji Young datang, dan ketika dia tahu yang terjadi, dia marahin Ji Young dan bilang, "rok kamu terlalu pendek, lagian kenapa harus les jauh-jauh!". Hmmmm....
Pelecahan ini tidak hanya digambarkan dialami Ji Young saja, tapi juga rekan kerjanya yang sesama perempuan. Selain didiskriminasi dengan pemberian promosi yang lebih lama dibanding laki-laki, pekerja perempuan sering mengalami pelecahan dari rekan laki-lakinya. Pelecahan itu mulai dari pelacehan verbal, bahkan yang digambarkan di film ini, pekerja laki-laki itu melakukan pelecehan dengan memasang kamera kecil di kamar mandi, dan menyebarkannya di grup chat (kayak grup chat burning sun gitu deh). Damn... itu menyakitkan banget sih!
Namun meski banyak hal menyakitkan yang ditampilkan film ini, masih banyak hal yang bisa membesarkan hati, dalam artian kemungkinan untuk menciptakan dunia yang setara, yang tidak hanya dilihat, dibuat, dan meletakkan laki-laki di posisi pertama saja, masih sangat terbuka luas. Optimisme ini bisa kita lihat dari ibu Ji Young, yang sangat gigih dan menyayangi anak-anaknya. Ibunya keren banget. Ia berani memprotes suaminya untuk memperlakukan anak-anaknya dengan sama, teman-temannya, Ji Young sendiri, dan bahkan suami Ji Young yang diperankan Gong Yoo serta adik laki-laki Jin Young. Aku rasa itu adalah pesan kuat, bahwa kita harus berani memprotes dan merubah. Kita para perempuan harus bergandengan untuk melakukannya, bersama-sama dengan laki-laki yang harus mulai menyadari bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harusnya setara. Dunia ini harusnya dipandang melalui dua pandangan. Mungkin dengan begitu, dunia yang lebih baik akan tercipta.
Semangat!

Review yang menarik
BalasHapusSaran Review film Habiebie dan Ainun 3
heheheheh