Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Kusuka Dari Novel Amerika Latin

Beberapa bulan ini aku punya banyak waktu luang.  Mahasiswa, semester akhir, skripsian, dan belum dihadapkan pada realitas hidup yang kejam, maksudnya belum ada keharusan kerja dan mandiri secara ekonomi gitu. Waktu luangku lumayan banyak, cukuplah buat baca novel, walau belum bisa banyak-banyak.

Ada banyak pilihan novel yang kubaca, tapi kalo kuingat, bacaanku akhir-akhir banyak novel-novel Amerika Latin. Pilihanku memang jatuh ke sana . Gara-gara baca Jurnal Eka Kurniawan deh kayaknya hahahaa. Penulis yang gendeng betul tulisannya itu memang suka kasih rekomen bacaan bagus.

Ada beberapa novel Amerika Latin yang kubaca, dan semuanya aku suka. Mulai dari Pedro Paramo tulisan Juan Rulfo, Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta Luis Sepulvida, Love In The Time of Cholera-nya Gabriel Garcia Marquez, Borges, yah walaupun terjemahannya jelek banget, pengen baca cerita dia lagi pinjem bukunya di perpus kampus, tapi bahasa Inggris dan aku belum sekuat itu buat dikit dikit buka kamus, capek euy! sama yang terakhir kemarin, novelnya Isabel Allende (eh, belum banyak-banyak banget ya ternyata haha).

Ada banyak hal yang bikin aku suka sama novel Amerika Latin. Tokoh-tokohnya yang luar biasa banyak, pembukaan yang menurutku selalu agak muter muter dulu tapi asyik, nama-nama tokohnya yang gak terasa barat banget (ini gimana ya maksudnya? Itu kan nama nama spanyol, ya barat juga kan, iya tapi maksudku beda gitu bukan barat yang kukenal, kayak Inggris atau Amerika, gitu...), dan Amerika Latin itu penuh rasa sakit menurutku. Mereka negara yang hidup dalam penjajahan Spanyol yang panjang, jatuh bangun berkali-kali karena revolusi dan kudeta, kelas kelas sosial mereka yang seperti jurang jaraknya, dan kultur mereka yang menarik. Tapi yang buatku selalu berkali-kali berkata gila ketika baca novel Amerika Latin adalah gimana si penulis merangkum semuanya dalam cerita yang benar-benar mengejutkan, kadang absurd, ajaib, dan nyentrik juga. Gila itu tuh menurutku, gila yang kayak wauuww gitu. Dan itu benar-benar buatku terpesona.

Kesimpulan ini kudapat pertama kali ketika baca Pedro Paramo. Novel yang disebut-sebut legen ini, yang bahkan Gabriel Garcia Marquez ngomong sendiri kalo dia bisa nyebutin ceritanya dengan runtut dari halaman depan sampai belakang, terus balik dari belakang ke depan, saking kagumnya sama novel yang penulisannya memakan waktu selama sepuluh tahun ini (Hmmmm aku suka deh sama kata-kata nggedabusnya si Marquez nih, dan itu juga akan banyak kamu ditemukan di karyanya, kalo di pengalaman bacaku sih di Love In The Time of Cholera). Lanjutt ya, novel keren ini, dan aku sepakat sekali karena memang keren, ceritanya tentang Don Pedro, sesuai judulnya, dan kota mati Comala. Maksudnya kota mati disini tuh bukan ditinggalin penduduknya, tapi penduduknya emang udah mati alis setan gitu (gila banget kan ?). Gimana Don Pedro mengantarkan Comala menjadi kota mati, dan kenapa orang-orang mati tidak bisa pergi, begitulah. Cerita yang sederhana, tapi benar-benar bagus. Aku pikir gitu ya kayaknya sebuah cerita yang bagus tuh, gak muluk-muluk, sederhana tapi bagus.

Kejutannya sendiri terkandung di akhir cerita, yang buatku sampai sebal ketika menutup halaman terakhirnya, dan masih sebal sampai sekarang, kalo inget. Padahal novel itu kubaca setahun lalu, tepat pas magang di Bappeda.

Meskipun cerita novel itu benar-benar gila, tokohnya orang mati dan orang hidup, alamnya gak ada bedanya, semua tinggal sama-sama, sampai-sampai tokoh dan pembacanya bingung, ini orang udah mati apa belum, Rulfo berbicara banyak disana. Tentang betapa berkuasanya, liciknya, si Pedro Paramo sebagai tuan tanah, dan betapa nggak berdayanya orang-orang Comala, sampai satu tindakan Pedro bisa berdampak fatal ke kehidupan mereka. Ia juga bicara, melalui orang-orang mati itu, bagaimana akrabnya orang-orang Meksiko, Rulfo orang Meksiko, dengan kematian, yang pernah nonton Remember Me pasti bisa bayangin.

Pas baca Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta juga gitu, cerita tentang pengerukan kekayaan hutan, diceritain melalui seorang Pak Tua kesepian yang mesti memburu seekor macan kumbang demi bisa kembali membaca kisah cinta dengan tenang tanpa gangguan para dewan kota dan penguasa yang merasa keberadaan macan kumbang yang membunuhi warganya karena kemarahan itu menganggu kekuasaannya. Keren gila.

Rumah Arwah juga begitu, meski ceritanya tentang satu keluarga sampai turunan keempatnya dan segala permasalahannya, tapi secara nggak langsung dia juga cerita tentang kesetaraan gender, tentang aneka perubahan yang menimpa negaranya, tentang relasi tuan tanah dan petani, dan perjuangan mencapai keadilan untuk semua kelas. Aduhhh terlalu bagus.

Dan, meski kisahnya begitu kaya juga begitu sedih, kesedihan itu nggak perlu diungkapkan dengan air mata, novel-novel itu seakan bilang untuk menertawakan semuanya dan mengajak kita untuk gak mau kalah, berjuang terus deh pokoknya, dan itu disampaikan melalui kalimat yang nggedabus-nggedabus bagus gitu. I love it deh pokoknya!

Hmmmm... kalo kalian mau baca novel-novel Amerika Latin, coba cari deh di Perpus Kota Malang, susurin rak-raknya satu-satu, ada banyak novel menarik, atau ke Perpus UB (karena aku mahasiswa UB), disana ada, tapi label merah dan bahasa Inggris. Atau kalo mager, coba cari di libgen aja. Aku juga mau nyari disana hahaha, tentu setelah mengkelarkan buku yang lagi kubaca. Selamat berpetualang!

Buenus nuches, Amigo!

Posting Komentar untuk "Yang Kusuka Dari Novel Amerika Latin"