Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Film Cinta Laki - Laki Biasa

Beberapa menit lalu saya baru kelar menonton film Cinta Laki - Laki Biasa. Hahahaha... semoga jika ada kawan yang membaca postingan ini, mereka tidak tertawa karena film ini tentang pasangan suami, kehidupan rumah tangga, dan semacamnya. Tertawa bukan karena itu aneh konyol atau terserah ya bagaimana, tapi karena hal - hal semacam itu sangat jauh dari saya. Yah, namun saya mengakui saya kepingin nonton film ini sejak lama. Saat saya menonton trailernya, saya langsung
terkesan melihat Rafli-diperankan Deva Mahendra- yang riweh - riweh sedap mengurus anaknya. Saya selalu suka melihat karakter seperti itu, bapak yang dekat dan hangat dengan anak - anaknya. Jadilah, ketika saya baru download aplikasi buat menonton film, dan mendapati ada film ini, saya memutuskan untuk menontonnya diantara puluhan film yang lain.

Kisah film ini sederhana tapi agak ribet juga. Seorang perempuan kaya bertemu dengan laki - laki biasa (sesuai judulnya), lalu jatuh cinta, ditentang keluarga, keluarganya merestui, mereka menikah, dan hidup berbagia. Tapi kisahnya tidak berhenti sampai disini. Konflik masih berlanjut. Keluarga si perempuan yang sejak awal tidak setuju sering kali mencemooh mereka, menganggap si perempuan menderita karena harus hidup dalam kesederhanaan. Begitulah, keluarga si perempuan yang kaya memang memandang harta, status, dan gengsi seakan segala - galanya. Kehadiran Rafli yang merupakan laki - laki biasa adalah tandingan dari semua ini. Rafli digambarkan sebagai sosok yang taat agama, perhatian, juga penyayang dan berhati lembut meskipun seorang laki - laki biasa. Kesetiaannya nanti akan diuji saat si perempuan, Nania mengalami kecelakaan lalu amnesia.

Kisah film ini memang kisah - kisah sinetron atau drama pada umumnya, gap antara kaya miskin, si kaya dengan segenap sikap yang selalu diidentikan dengan orang kaya, suka pamer, sombong, mementingkan status dan gengsi, serta orang miskin dengan keapa-adaannya. Hal ini tergambar dari saat pesta pernikahan Tole, sahabat Rafli dan Nania yang terasa semarak dan meriah meski rumahnya ada di bantaran kali, sementara pesta keluarga Nania yang digelar di pinggir kolam renang mewah hanya berisi dengan pameran sana sini. Semua itu sayangnya disajikan dalam suatu adegan yang teatrikal, kelihatan sekali dibuat - buat, sehingga agak aneh ketika menontonya. Hitam dan putih. Kurang lebih begitulah hal - hal tadi digambarkan. 

Film ini tidak mampu menggambarkan kehidupan. Ia tidak bisa menggambarkan kompleksitas manusia menurut saya. menempatkan sifat - sifat tertentu berdasarkan kedudukan, menurut saya hanya akan memperkuat asumsi kita mengenai hal itu. Orang kaya meskipun banyak harta tapi ia tidak sepenuhnya bahagia, sementara orang miskin walau serba kekurangan namun ia bisa berbahagia dalam apa adanya. Ya, memang beberapa kasus ada yang demikian, tapi tentu tidak seluruhnya. Manusia adalah entitas yang begitu kompleks. Ia banyak punya ruang abu - abu. Hidup tak akan selalu begitu. Menampilkan gambaran hitam putih semacam itu, bisa saja membuat kita, para penonton terjebak dalam asumsi yang menyesatkan, bahkan menjatuhkan kita pada optimisme yang semu saja, "Tak apa miskin atau jadi orang biasa, kita lebih bahagia kok dibandingkan orang kaya yang hidup mewah tapi hatinya kosong!". Hal semacam ini sudah terlalu sering disajikan oleh film - film maupun sinetron. Saya pun dulu pernah terjebak juga dalam asumsi semacam ini, sebelum kemudian saya sadar bahwa "Hei kenyataannya tidak begitu!", lalu berusaha menerima keadaan. Bukan berpasrah, tapi menerima.

Namun, ada beberapa hal yang saya apresiasi juga dalam film ini, yaitu karakter Rafli. Saya suka karena dia digambarkan dengan manusiawi. Misalnya, dengan tersenyum malu saat dibilang "Antik" oleh Nania, merasa cemburu saat melihat Nania dengan Tyo, juga merasa frustasi saat Nania tak kunjung ingat dengannya. Okelah....

Oh iya... latar kebun teh nya juga bagus :)

Posting Komentar untuk "Review Film Cinta Laki - Laki Biasa"