Ibu Modin
![]() |
| Sumber gambar : Mada Hannan - Wordpress.com |
Celaka!
Kalimat
itu berkali - kali keluar dari mulut perempuan tua dari dalam sebuah rumah. Seharian
ini ia hanya mondar – mandir saja.
"Tak
kukira ia bisa berlaku begini!", katanya tiba - tiba. Kalimat itu tak lain
ditujukan pada Modin, anaknya.
***
"Nak,
sekolahlah yang tinggi, belajarlah yang rajin, supaya bisa jadi orang",
kalimat ia ucapkan sembari mengelus-elus kepala anaknya yang sudah setengah
tertidur.
"Ibu
tak punya apa-apa, ibu tak bisa mewariskanmu apa-apa, ibu cuma bisa berusaha
sekuat tenaga untuk menyelolahkanmu dan memberimu bekal ilmu", ia menyambung,
lalu diselimutinya tubuh anaknya, sebelum mengecupnya di dahi, dan mengusir
nyamuk yang lalu lalang menganggu, kemudian pergi, sejenak kembali pada
kesendiriannya.
Anak itu adalah segalanya buatnya, ia adalah hidup, cinta,
dan sayangnya. Anak itu juga matinya. Kebahagiaan anaknya, berarti kebahagiaan
untuknya, kesedihan anaknya berarti juga penderitaannya. Begitulah, ia sangat
terikat dengan anak itu. Tujuh tahun lalu, ketika suaminya baru mati, anak
itulah yang menopangnya. Ia membantu dan menjaganya, menjaganya buat tetap
menapak dan hidup.
***
"Selamat kepada Syafrizal Aminudin!", Sorak sorai
dan riuh tepuk tangan seketika memenuhi ruangan. Raut kebanggan tergambar pada
wajah seorang wanita tua yang pakaiannya paling sederhana di aula besar itu,
dia.
Raut kebahagian berubah senyum mengembang, senyum mengembang
perlahan berbuah air yang perlahan mengambang di dua lingkaran jiwanya, lalu
menetes, membasahi pipinya yang telah keriput dan kusut. Ia sungguh merasa
bahagia. Tak pernah selama hidupnya ia merasa sebahagia ini. Kebahagiaan ini
mungkin hanya bisa tersaingi oleh kebahagiaan ketika ia pertama kali bertemu
dengan almarhum suaminya. Kebahagiaan yang dulu ia kira sudah hilang
saat jasad suaminya telah diuruk tanah.
Segala sesuatu di sekitarnya jadi terasa berbeda sekali
setelah anak itu ada. Segalanya tampak seakan - akan
lebih berwarna, lebih semarak, lebih menggairahkan dan lebih hidup. Ia bekerja
dan menjalankan hari harinya dengan riang. Ke sawah, membersihkan rumput, dan
memberi makan ayam - ayam, semua jadi terasa sangat - sangat menyenangkan. Ia
bahkan merasa tak memiliki rasa lelah saking senangnya.
***
Langit kelabu. Hujan telah turun sedari sore
tadi. Perempuan tua itu sendiri di dalam rumahnya, menghangatkan tubuh
renta yang telah seharian bekerja di dekat pawonan yang menyala – nyala.
Beberapa ranting dan bongkok kayu yang dimasukkannya menimbulkan suara cetik
pelan, suara kayu yang dimakan oleh api, asap membawa bau sangit memenuhi
ruangan, dan ia, ia merasakan kehangatan yang mendamaikan.
"Tok! Tok! Tok!"
Pintu diketuk pelan - pelan. Perempuan tua itu terkejut,
tapi juga tersenyum. Ketukan itu ia telah hafal, ketukan pelan yang seperti
punya nada, seperti tabuhan gendang. Anaknya telah pulang. Tapi untuk apa?
Bukankah ia seharusnya di luar kota dan sedang mengurus sekolahnya?
Ia bergegas ke pintu. Ditariknya kayu yang memalang, lalu, melihat
wajah anaknya yang bersimbah air mata, dunianya seakan runtuh. Segera dipeluknya
anak kesayangannya itu.
“Kenapa?”, tanyanya sambil mengelus bekas air mata di pipi
anaknya. Tapi anaknya cuma bisa diam sesenggukan. Ia mengajaknya masuk.
Segala sesuatunya jadi benar – benar jelas setelah itu. Beasiswa
yang ditawarkan oleh kampus setelah pengumuman juaranya kemarin dibatalkan.
Tidak benar – benar dibatalkan, namun biaya kuliahnya tidak jadi ditanggung
semuanya. Sekolah itu cuma mau membayar setengahnya saja. Itulah yang
membuatnya jadi teramat sedih.
Melihat anaknya menangis sesenggukan macam itu, perempuan
tua itu benar – benar merasa pedih . Ia sungguh merasa tak rela jika
satu – satunya dunianya menjadi hancur semacam itu, jika anaknya, satu –
satunya kebahagiaan yang dimilikinya mesti merasa kecewa begitu. Anak itu,
anaknya, haruslah tetap bersekolah, ia akan melakukan apapun untuk
mewujudkannya.
Maka, hari itu juga diputuskannya untuk menjual sawah. Ia
paham, paham benar, kalau sawah itu adalah satu – satunya peninggalan suaminya,
peninggalan yang menghidupinya, peninggalan yang membuatnya selalu mengenang
lelakinya. Tapi, anak itu, anak itu juga adalah dunianya. Ia telah
memberinya hidup kedua, bagaimanapun ia sangat ingin membahagiakannya.
Dua bulan sudah terlewat sejak kejadian malam itu. Anaknya
kini tengah berkuliah. Ia sedang sibuk-sibuknya, bahkan kadang, ia sering lupa
meneleponnya. Tapi sekalinya menelepon, ia akan menelepon lama sekali, bahkan
sampai tetangga yang ia pinjam teleponnya merasa kesal. Ia sering merasa tak
enak sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, kebahagiaannya selalu membuncah
setiap kali berbicara dengan puteranya, membuatnya lupa waktu.
Waktu cepat sekali berlalu, dari beberapa menit di telepon itu, melaju mejadi satu hari, satu tahun dilalui hari demi hari, jadi satu bulan, satu bulan
kemudian jadi berbulan - bulan dan genap satu tahun lagi, hingga tanpa terasa
empat tahun kini telah lewat. Anaknya akan segera lulus. Hari ini ia tengah
bersiap untuk datang ke wisudanya.
***
Sorak – sorai memenuhi ruangan saat nama anaknya dipanggil,
persis seperti bertahun - tahun lalu.
Dan ia, sekali lagi merasa amat teramat sangat bahagia, merasa amat teramat sangat
beruntung, ia rasa jutaan syukur tak akan mampu membalas kenikmatan yang tengah
dirasakannya sekarang ini. tapi ia terus saja mengucapkannya, mengucapkan
syukur, sambil tanpa henti, tersenyum. Pagi itu juga adalah saat perpisahannya
dengan anaknya. Ia akan bekerja di kota. Anaknya akan jadi
orang penting, entah sepenting apa, tapi tetangga – tetangga yang jelas
mengatakan jika ia beruntung, hidupnya nanti akan enak.
Memang. Anaknya itu selalu memperhatikan kebutuhan –
kebutuhannya, makanannya, pakaiannya, ia bahkan membayar orang untuk
mengurusnya dan memberinya uang bulanan. Ia tak perlu lagi repot-repot bekerja
berkotor – kotor di sawah tetangga, atau berpanas – panasan ngasak
demi cari sisa – sisa panen. Hidupnya benar – benar sempurna.
Anak sukses, hidup enak, apalagi yang lebih nikmat bagi wanita tua sepertinya
selain itu? Main,
mengobrol, ikut membantu mengemong cucu mereka. Semua itu pengisi waktu
luangnya. Sekarang, di rumahnya ia hanya perlu duduk – duduk saja, tak ada
pekerjaan yang perlu dilakukannya. Semua telah dikerjakan oleh orang suruhan anaknya.
Tapi menganggur seperti itu, membuat otot – ototnya terasa sakit. Makanya ia
suka main ke tetangga, apalagi, cucu cucu mereka yang lucu senantiasa bisa
membuatnya tertawa.
“Modin kapan pulang bu?”, tanya Bu Hamdi tiba – tiba. Ia
adalah tetangga depan rumahnya. Tawa yang tadi keluar saat melihat cucu Bu Hamdi
menari – nari mengikuti musik dangdut kondangan sebelah, perlahan hilang. Iya,
kapan anaknya pulang, sudah lama ia tidak memberikan kabar.
Lamunan perlahan datang,
dan sedetik kemudian segera bubar.
“Bu!”, Bu Hamdi menepuk bahunya.
“Ah, iya… lagi sibuk bu katane”, ia tidak benar – benar
berkata benar. Ia tahu anaknya pasti sedang sibuk, tapi toh anaknya sendiri
yang mengatakan itu padanya. Mereka telah lama sekali tak berbicara.
Malam itu ia sendirian saja di dalam rumah. Ia hangatkan
tubuhnya dengan gumulan selimut tebal, sambil memegang secangkir teh hangat. Ia
sudah tidak pernah menghangatkan tubuh di depan pawonan, karena dapurnya
sekarang sudah jadi dapur bersih, dapur bersih yang sepi. Tidak ada suara cetik
api, suara kayu yang sedikit – demi sedikit jadi abu, juga bau sangit yang
memenuhi udara. Yang ada hanya ia, ia dan suara nafasnya.
“Tok!Tok!Tok!”
Pintu diketuk, membuatnya
terkejut, tapi juga tersenyum. Ketukan yang sama seperti beberapa tahun lalu.
Ia telah hafal, anaknya telah pulang. Tapi, mengapa malam – malam begini?
Segera dihampirinya pintu, dan didapatinya wajah anaknya penuh dengan air mata.
Persis seperti bertahun – tahun lalu.
“ Kau kenapa Nak?”
Anaknya itu hanya diam saja. Lekas diajaknya masuk ke dalam
rumah, didudukannya, dan diberinya segelas air putih.
“Bu, aku numpang disini beberapa hari”, katanya singkat,
kemudian diam, tak berkata apa – apa lagi. Bahkan beberapa hari setelahnya.
Menyisakan pertanyaan – pertanyaan tak terjawab dalam benaknya.
Anaknya cuma diam di
kamar. Makan dan minum bahkan harus diantarkan. Meski keadaan anaknya begitu
membingungkannya, sesungguhnya dalam hati kecilnya, hal yang sebenarnya juga
tak ingin diakuinya, ia merasa senang. Rasanya, ia seperti mendapatkan kembali
bayi kecilnya. Bayi kecilnya yang dulu ia terima dalam gendongannya beberapa
hari setelah suaminya meninggal, bayi kecil yang mata bulatnya mengerjap –
ngerjap seakan bertanya – tanya siapa wanita tua yang merengkuhnya itu, bayi
kecil yang genggaman tangannya telah memberinya hidup kedua.
Tapi kelakuan anaknya itu, mau tak mau juga membuatnya khawatir.
Apalagi, ia tak pernah bersedia menjawab pertanyaannya. Dan akhirnya, pagi itu
jawaban datang. Bukan dari anaknya, bukan. Jawaban itu datang dari mesin.
Sebuah tayangan berita menyiarkan tentang kasus korupsi. Seorang Bupati
Kabupaten NG, ditangkap. Tapi bukan hanya ia saja tersangkanya, ada banyak.
Bawahan – bawahannya juga ikut terlibat. Ada daftar nama – nama yang panjang.
Mau tak mau ia merasa geram. Ada – ada saja orang – orang ini, buat tatanan
dunia jadi rusak. Ia merasa marah sekali, teringat kesulitan – kesulitan
hidupnya dulu, buruh di sawah, ngasak, semua itu ia lakukan cuma agar demi bisa
hidup. Tapi mereka… Oh astaga! Maka dibacanya daftar nama itu satu persatu,
lalu… lalu… bibirnya tak mampu terkatup.
Syafrizal Aminudin juga ikut tertera di sana.

Posting Komentar untuk "Ibu Modin"