Seorang Gadis Bernama Mar
Hujan
mendera, titik – titik air tanpa ampun menghujam tubuh bumi. Jatuhnya seakan garis
miring putus-putus karena angin yang kuat bertiup. Pohon-pohon pun bergerak
liar. Jalanan yang hanya berupa susunan bebatuan kali tak lagi tampak. Gebyoran
air hujan telah menutupi jarak pandang, juga jalan setapak itu. Menciptakan
sungai kecil dalam sekejap. Suasana mencekam. Desa kecil itu berubah lengang. Semua
orang memilih di berada dalam tempatnya yang paling aman dan nyaman. Tapi seorang gadis di ujung jalan itu tak peduli
dengan semua itu.
Berjam-jam
sudah hujan menumpahkan dirinya pada tubuh kecil itu. Ia memang gadis yang
sangat keras kepala. Bukan satu atau dua kali saja orang-orang berteriak
padanya, memintanya untuk segera keluar dari siksaan hujan badai yang tengah
datang, lalu mencari perlindungan. Tapi, ia tak mau mendengarnya, ia tak
memedulikannya.
Gadis
itu bernama Martina. Ia biasa disapa dengan Mar saja. Ia memang selalu menolak
jika dipanggil Tina atau Marty. “ Panggil aku Mar!”, katanya tegas. Baginya Mar
adalah panggilan yang istimewa. Ia pernah berkata bahwa Mar adalah satu bagian
dari kata asmara dan amarah. Baginya dua hal itu adalah bagian dari kehidupan
manusia dan tak bisa bisa dipisahkan darinya. Karena itulah ia suka dipanggil
Mar.
Mar
merupakan gadis yang pendiam. Ia tidak suka bergaul dengan teman sekelasnya di
kampus. “Buang-buang waktu”,
katanya dingin dan agak angkuh. Ia sering terlihat dalam kesibukan sendirian.
Entah itu dengan pikirannya atau buku-bukunya. Mar selalu membawa buku di
ransel yang membuatnya tampak seperti seekor kura-kura. Ukuran ranselnya memang
lebih besar dibandingkan tubuhnya. Mar telah membaca berbagai judul, tapi aku
paling sering memergokinya tengah menikmati sastra. Pram, Herman Melville,
Edgar Allan Poe, Bibhutibusan Baneerji si sastrawan Bengali, Leila S. Chudori, Camus,
Maxim Gorki, dan Leo Tolstoy adalah sekian nama sastrawan besar yang menjadi
kawan berpikirnya. Teman-temannya menjulukinya si kutu buku karena itu, namun bukan
memaksudkannya untuk memuji, tapi Mar tak pernah peduli. Ia mencitai buku-
bukunya. Mereka adalah separuh jiwanya.
Hujan
masih deras mendera di luar sana, Mar masih ada di tempat yang sama.
Mar
tidak pernah punya teman, apalagi sahabat. Ia sulit percaya pada seseorang. Mar
menginginkan sebuah cinta. Rasa cinta yang sebenar-benarnya cinta. Ia sudah
terlalu sering dikecewakan. Oleh ayahnya yang hanya memikirkan dirinya sendiri,
ibunya yang menyayanginya tapi tak pernah bisa memahaminya, kakaknya yang
mempercayainya tapi tak pernah mendukungnya sepenuhnya, teman-teman yang
menyalahpahaminya dan berbicara buruk di belakangnya. Ia sudah lelah untuk
merasa kecewa dan asing. Asing dengan dirinya sendiri karena berusaha menjadi
yang lain untuk dapat diterima. Ia terlalu lelah untuk berbohong lalu menjadi
pengecut karena tak berani menunjukkan bagaimana dirinya dan apa yang
diinginkannya. Mar ingin berhenti, ia ingin jujur, jujur pada dirinya dan semua
orang di sekitarnya.
Hujan
semakin menggila. Ia masih saja ada di
tempat yang sama.
Mar
tidak sesuram apa yang kuceritakan tadi sebenarnya. Ia penuh warna dalam
dirinya, seperti buku dongeng tua yang sampulnya lusuh, namun menyimpan banyak
cerita. Mar punya mimpi-mimpi besar dibalik tubuh kecilnya. Bukan menjadi orang
kaya dengan harta segudang, punya mobil – mobil mewah berjejeran, dan rumah bak
istana. Mimpinya juga bukan menjadi Pegawai Negeri Sipil yang punya gaji besar
dan tetap seperti keinginan ibunya. Mimpinya hanya sebuah mimpi besar yang
sederhana. Menulis.
Mar
ingin menulis kisah yang menyentuh hati banyak orang, kisah yang jujur, bukan
buntalan omong kosong tentang cinta seperti yang suka dibaca teman-teman
sekelasnya. Ia ingin menulis tentang kesulitan sekelompok petani yang tinggal
di desa hutan, tentang nelayan yang harus terlilit hutang untuk mencari makan, tentang
orang-orang yang berjuang mati-matian demi mencari penghidupan. Mar ingin
merekam kisah mereka, menyimpannya dalam keabadian kata-kata, dan
menunjukkannya kepada dunia.
Petir
menyambar, suara gemuruh bersahut-sahutan. Hujan telah menjadi badai.
Sayangnya,
mimpi sederhana itu tidak sesederhana
itu untuk diwujudkan. Ada sebuah batu besar yang menghalangi jalannya yang
sangat sulit untuk ia singkirkan, batu itu adalah keluarga. Kedua orang tuanya
tidak menyetujui keinginannya. Termasuk paman dan bibi-bibinya. Mereka merasa
impiannya itu tak masuk akal dan hanya akan membawanya kepada kesulitan. Mereka
ingin Mar menjalani hidup seperti saudara-saudaranya. Hidup yang tidak
neko-neko tapi memberikan jaminan kenyamanan kepadanya.
Angin
semakin kencang menggoyang dahan pepohonan. Kini deretan pohon itu tampak
seperti kucing kepanasan, bergerak liar kesana kemari.
Batu
besar itu benar-benar mengganggu pikiran Mar. Seakan batuan besar itu ikut
menghalangi satu saluran dalam tubuhnya yang membuatnya menjadi seseorang yang tak
normal secara fisik dan psikisnya. Menyebabkannya senantiasa pusing dan didera
kegelisahan. Larangan keluarganya memang kencang sekali mencengkramnya. Ayahnya
dengan suara keras kerap kali memarahinya. Kakaknya selalu berbicara dengan
pelan bahwa ia adalah harapan keluarga. Sementara ibunya, selalu berkata bahwa
ia ingin anaknya, Martina menjadi seseorang yang berhasil, yang mempunyai
kehidupan yang nyaman, agar tidak kesusahan sepertinya. Kata-kata ibunya inilah
yang selalu membuatnya terenyuh dan pedih. Membuatnya seakan salah jika
menuruti mimpi-mimpinya.
Mimpinya
memang menjadikannya lain. Ia memanglah gadis yang berbeda, tak sama dengan
teman teman-teman sebanyanya. Ia sadar bahwa ia akan banyak mengalami
kerepotan. Tapi, Mar tidak ingin menyesal. Ia tidak ingin hidupnya menjadi
sia-sia, kemudian menangis tersedu-sedu dalam kuburnya. Ia ingin memberi
kemanfaatan, ia ingin dirinya menjadi berguna, dan berkeras akan mimpinya
adalah salah satu caranya.
Kebulatan
tekad Mar ini sontak menimbulkan geger dalam keluarga. Ayahnya marah kepadanya,
kakaknya terbelah antara merasa bahagia karena Mar berani memilih jalannya,
juga kecewa dengan kekeraskepalaannya yang menimbulkan luka kedua orang tua,
sementara ibunya, menangis dalam diamnya.
Seakan
tengah melampui badai Mar berusaha mempertahankan apa yang diingininya. Ia
memang gadis yang keras kepala seperti yang telah berkali-kali kukatakan. Mar
telah memulai perjuangannya, perjuangan sederhana, untuk jujur dan agar ia
kelak tidak menangis menyesal.
Badai
masih terus mendera. Tapi percayalah, perlahan hujan akan mereda, angin rebut
akan berubah menjadi sepoi, dan matahari akan muncul, menghangatkan segala
sesuatu yang basah…
Posting Komentar untuk "Seorang Gadis Bernama Mar"