Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Guru TK Magang



Liburan semesterku kali ini terasa sangat berbeda bagiku. Mengapa? Ada banyak hal yang kupelajari dan juga ada banyak hal yang kusadari. Terutama yang paling membekas padaku adalah keberhasilanku dalam mengalahkan diriku sendiri. Asal kau tahu, sudah sejak lama aku ingin belajar mengajar di Taman Kanak- Kanak di depan rumah. Keinginan itu sudah timbul sejak setahun yang lalu, tepatnya ketika liburan semester genap tahun lalu. Namun pada saat itu benakku dipenuhi dengan keraguan dan kesungkanan untuk meminta izin pada guru TK tersebut. Hal yang sama juga terjadi saat liburan semester ganjil kemarin, aku lagi-lagi masih takut. Kemudian, pada liburan kali ini, keraguan dan ketakutan akan pandangan orang-orang juga masih ada sebenarnya, namun yahhh…
aku berhasil untuk memaksa diriku. Dan akhirnya pada Minggu, 16 Juli 2017 tepatnya satu hari sebelum sekolah masuk, aku meminta izin kepada guru dan kepala sekolah TK tersebut. Mereka yang hanya berjumlah dua orang pun menerimaku dengan senang hati.
Mengajar anak anak TK merupakan sebuah hal yang benar-benar baru bagiku. Aku harus berhadapan dengan anak-anak dan berpikir untuk membuat kelas menarik agar mereka tertarik untuk belajar. Di hari pertama aku merasa sangat kikuk, apalagi aku belum mengenal kebiasaan di TK tersebut, akupun lebih banyak diam. Ketakutan ketakutan menjadi guru yang tidak disukai oleh murid muridku pun bermunculan. Namun, perlahan-lahan mengajar anak – anak TK mendatangkan sebuah keasyikan dan kegembiraan, terutama ketika melihat tingkah polah anak-anak yang lucu. Pada saat itu aku juga menyadari sesuatu. Bahwa mengajari anak TK adalah mengajari suatu hal yang masih  dasar, sesuatu yang menurutku sudah sangat akrab namun masih sangat asing bagi anak anak kecil itu, misalnya membedakan kiri dan kanan, agar mereka terbiasa untuk makan dengan tangan kanan dan cebok dengan tangan kiri, mengajari berhitung, nama nama anggota tubuh dan fungsi-fungsinya. Hal – hal seperti itu. Dan sangat tak kuduga bahwa merupakan sebuah tantangan juga untuk mengajari mereka. Saat mengajar anak TK, aku benar benar merasakan sulitnya perjuangan. Perjuangan yang biasanya hanya kubaca dalam slogan slogan. Padahal perjuangan yang kulakukan ini tergolong perjuangan yang sederhana saja.
Di sekolah tempatku mengajar tidak terdapat banyak murid, jumlahnya hanya tujuh anak di tingkat TK Nol Kecil, terdiri dari Salsa yang imut, Nadila yang nyentrik, Fika yang suaranya lirih namun jujur, Fahri yang lincah tapi juga sangat melow, Yusuf yang suka jahil tapi selalu paling cepat ketika menyelesaikan tugas, serta Riki yang menurutku seperti pemimpin diantara Fahri dan Yusuf, oh iya aku lupa ada satu lagi yaitu Fajar yang tingkahnya selalu paling lucu dan yang masih paling sering menangis serta masih harus ditemani ibunya. Pada minggu kedua, akungnya Riki harus keluar karena ia akan pindah rumah, sehingga menyisakan enam murid saja di tingkat Nol Kecil. Kemudian di tingkat Nol Besar ada Maila, Dea, Nabila, Ayu, Ziqin, Juna, dan Rizki, sehingga di TK itu total hanya ada tiga belas murid saja. Meski demikian bukan berarti mudah. Mengajar memberiku tantangan untuk mendalami karakter setiap anak dan tentusaja berteman dengan mereka. Biasanya caraku adalah dengan tidak memberikan larangan atau membatasi mereka dalam kegiatan mewarnai. Anak-anak itu entah mengapa setiap mewarnai selalu saja bertanya ini harus diwarnai dengan warna apa? Aku merasa kebebasan berekspresi mereka akan dibatasi jika seperti itu, karena itu aku memilih untuk berkata terserah kamu ketika mereka mewarnai buku mereka. Biasanya Nadila akan paling berbeda ketika ia mewarnai, selain ia bersama Salsa adalah murid yang paling dekat denganku, sehingga aku lebih banyak memberinya kebebasan dibandingkan dengan murid yang diawasi oleh kepala sekolah yang juga ikut mengajar atau murid-murid yang ditunggui oleh ibunya. Nadila paling suka warna oranye, biru tua, dan ungu, dan bagian wajah selalu diwarnainya dengan dua warna itu, biru dan ungu. Ia bilang ia ingin mewarnai adeknya, sebutan untuk gambar di buku itu, seperti setan yang menakutkan, seperti setan yang ia lihat di lapangan. Aku hanya tertawa dengan agak agak mengernyitkan dahi mendengarnya. Hmmmm… Mungkinkah tontonan-tontonan tentang hantu dan azab kubur yang sedang marak di televisi saat ini tengah mempengaruhi pikirannya ataukah Nadila saja yang punya daya imajinasi yang unik. Entahlah.
Seperti yang kukatakan tadi, mengajar berarti kita harus memahami diri setiap murid – murid kita dan seorang guru haruslah menjadi teman bagi murid-muridnya. Hal ini kudapatkan dari buku yang kubaca bertahun-tahun lalu, tepatnya saat aku duduk di kelas sepuluh sekolah menengah atas. Buku itu adalah tulisan dari Munif Chatib, seorang pemerhati pendidikan. Dia menulis banyak buku tentang pendidikan dan yang kubaca adalah tiga jilid bukunya tentang bagaimana pendidikan haruslah memanusiakan manusia, yaitu Gurunya Manusia, Orang Tuanya Manusia, dan Sekolahnya Manusia. Pemikirannya begitu menarik bahwa pendidikan dilakukan untuk manusia karena itu harus memanusiakan manusia dalam prakteknya. Selain itu, Munif yakin bahwa setiap anak pasti spesial dan memiliki potensi mereka masing masing yang menarik, karena itu pendidikan yang diberikan kepada anak tidak boleh menekankan pada satu sisi saja, misalnya kognitif, melainkan haruslah menyentuh semuanya. Selain itu juga seorang guru tidak memegang hak mengajar, melainkan murid yang memilikinya, karena itu seorang guru haruslah merebutnya dengan mengajar secara menarik. Tulisan- tulisannya sungguh membekas dalam benakku hingga kini.
Berikutnya, pemikiran bahwa seorang guru haruslah menjadi teman bagi setiap muridnya kudapat dari guru matematikaku ketika kelas sebelas dan dua belas di sekolah menengah. Namanya Bu Lismawati. Ia sosok yang hebat menurutku karena ia mempercayai setiap muridnya senakal apapun anggapan orang terhadap murid itu, karena itulah kami juga begitu percaya padanya.  Namun, akungnya untuk dapat dipercaya oleh murid muridku juga bukan suatu hal yang mudah juga ternyata. Kurang lebih selama seminggu pertama anak anak belum hafal siapa namaku, beberapa anak bahkan ada yang enggan untuk bersalaman dengaku ketika mereka baru datang, juga mereka tidak suka ketika aku menggantikan Pak Agung, salah satu guru di sekolah itu untuk memimpin baris sebelum masuk kelas. Yah, aku memang harus bersabar karena memang masih hari hari awal, juga harus lebih banyak berpikir keras dan berusaha.
Di Minggu kedua, kepercayaan anak anak terhadapku sebagai gurunya mulai timbul. Senang sekali rasanya ketika menyapaku dengan panggilan Bu Dinda… Ah… Terharu sekali pada saat itu. Seperti yang kukatakan tadi, aku berusaha untuk mengamati anak anak itu dan… Ternyata ada banyak hal yang istimewa dalam diri anak anak itu. Misalnya Dila, yang diatas tadi kuceritakan suka mewarnai wajah gambarnya dengan warna ungu atau biru agar seperti setan yang dilihat di lapangan. Ia ternyata adalah anak yang kurang berminat untuk berhubungan dengan buku dan pensil, apalagi pelajaran menulis. Kepala sekolah sering terlihat kecewa dan memperlakukan Dila dengan agak lain karena ia berbeda. Ibunya pun demikian, ia kadang masuk kelas dan memaksa Dila untuk menulis juga mewarnai gambarnya dengan warna warna yang ‘normal’, meskipun jelas-jelas Dila sama sekali tidak suka, bahkan tidak tertarik dengan kegiatan itu. Pada saat itu aku merasa prihatin, namun tidak dapat berbuat banyak diantara kepala sekolah dan ibunya. Yang dapat kulakukan hanyalah mendampingi Dila ketika kegiatan menggambar dan menulis. Sebenarnya aku merasa sangat penasaran dengan apa yang terjadi dengan anak ini hingga ia begitu enggan untuk berurusan dengan buku dan pensilnya, mungkinkah ia di ajar dengan keras sebelumnya? Entahlah. Namun aku menduga mungkin hal demikian terjadi, karena menurut penuturan dari kepala sekolah, ayah Dila merupakan orang yang ringan tangan. Ini hanya praduga, aku belum pernah melihatnya sendiri soalnya. Namun aku pernah melihat Dila diperlakukan dengan cara yang salah oleh salah satu guru, yaitu ketika Dila mewarnai gambarnya dengan warna ungu dan biru untuk wajah dan oranye untuk rambut. Guru itu menunjukkan gambar Dila di depan semua anak dan mengulang menanyai Dila apa warna rambut? Warna Rambut Hitam, jawabnya guru itu sendiri. Hal demikian pasti akan sangat mempengaruhi psikologi Dila karena berpengaruh pada kepercayaan dirinya. Namun akungnya lagi lagi aku tidak menghentikan hal itu dan hanya dapat mendampingi Nadila secara pribadi ketika di sekolah. Hal inilah yang membuat aku dan Dila dekat. Sebenarnya Dila adalah anak yang manis, meskipun terkadang agak jahil, tapi dia adalah anak yang mau mendengarkan dan menurut jika dinasehati dengan baik. Dia juga suka bercerita dan memiliki daya imajinasi yang kuat. Selain itu, ternyata ia bukannya tidak mau belajar menulis dan membaca. Ia seperti yang aku duga mungkin mengalami cara ajar yang salah atau terlalu keras, karena ketika kegiatan menebalkan huruf dibawakan dengan asyik ia cukup bersemangat, hanya saja beberapa angka atau huruf yang harus ditebali ia masih bingung, namun ia masih mau belajar, asalkan caranya menarik dan tidak menjatuhkan mentalnya.
Selain Dila, ada juga Salsa. Dia anak yang manis dan bersuara serak. Baru masuk. Salsa tampak begitu bersemangat sekolah ketika pertama kali aku melihatnya. Ia langsung mengeluarkan krayon dari tas merah jambunya padahal kelas baru saja dimulai dengan doa.  Ia juga anak yang cerdik, ketika pelajaran membuat huruf, ia tidak bisa menuliskan huruf “C”, sehingga ia membuat huruf “C” dengan garis-garis yang ia sambungkan. Hihihihi… Aku ingin tertawa ketika melihatnya. Salsa cukup bagus dalam membuat garis, juga huruf, kemungkinan ia pandai di hal hal yang mendetail seperti itu. Motorik halusnya bagus. Ia juga peniru yang baik. Karena itu kita juga harus hati hati ketika berhadapan dengannya, agar ia tidak menirukan hal yang salah.
Selain Salsa dan Dila ada juga Fahri. Awalnya ia tampak pendiam, selalu terlihat lemas dan lesu ketika di dalam kelas. Namun, ketika jam istirahat tiba lincahnya sungguh luar biasa! Berlari kesana, berlari kesini, berkejar-kejaran dengan Yusuf, hingga berbuat berbagai keusilan. Akan tetapi, dibalik semua itu aku menemukan bahwa Fahri adalah anak yang melankolis juga. Oh… contohnya ketika ibunya lupa memberitahunya dimana meletakkan uang sakunya,  saat itu Fahri sampai akan menangis, ia tidak bisa membeli jajan seperti anak anak yang lain, namun ia juga menolak ketika kepala sekolah berniat membelikannya jajan. Fahri lebih memilih tidak makan jajan daripada dibelikan. Hal yang hampir sama juga aku lihat ketika kegiatan makan bersama di sekolah. Semua anak didampingi oleh ibunya, namun ibu Fahri belum datang karena masih ada urusan sebentar. Saat itu Fahri tampak bersedih dan bahkan ia menolak untuk makan bersama teman temannya di bawah. Ia tidak bersedia, bahkan ketika dibujuk banyak orang. Namun, saat ibunya yang datang, ia langsung manut dan kemudian ia bermanja manja dengan ibunya. Lelaki berhati lembut. Hahahahaaa… Fahri ini juga termasuk anak yang rapi. Hal ini aku lihat ketika ia mewarnai yang selalu hati hati dan rapi.
Ada juga Yusuf, yang sama seperti Fahri lincahnya. Yusuf ini selalu paling awal selesainya ketika ada tugas, baik itu tugas menulis maupun mewarnai. Ia selalu mempertahankan gelarnya ini. Aku rasa, ia tahu kalau tugas tugas itu adalah tanggung jawabnya, yang harus segera diselesaikan agar ia dapat bermain lagi. Yang aku lihat, Yusuf memang jenis anak yang tidak terlalu tahan duduk berlama lama di bangkunya. Ia selalu tampak bosan ketika kelas dibuka dan terpaksa duduk dengan rapi.
Selain mereka Fika dan Fajar juga merupakan anak anak yang menarik. Aku kurang dapat kedekatan yang mendalam dengan kedua anak itu sebenarnya. Namun aku menangkap bahwa Fika adalah seorang anak yang baik dan jujur. Memang, semua anak adalah baik dan jujur, namun aku untuk Fika aku terkesan sekali dengannya. Pernah, pada suatu hari aku melupakan tutup bulpoin aku yang lucu bentuknya. Pada saat itu Dila ingin menyimpannya, mungkin karena bentuknya yang lucu itu tadi, dan pada saat itu Fika langsung melarangnya dan menyerahkan tutup bulpoin itu kepada aku. Hal itu menurut aku adalah sesuatu yang istimewa untuk anak usia lima tahun. Akung, Fika agak sering sakit sakitan. Sedangkan Fajar dia selalu lincah, selalu cepat menjawab ketika ditanyai, dan begitu menyenangkan orang yang melihatnya.
Aku hanya mengajar selama dua minggu saja, dan dalam waktu yang singkat itu tentu aku tidak dapat memahami murid murid aku dengan sempurna seluruhnya. Tapi yang pasti dalam kurun yang sebentar itu aku belajar banyak dan bergembira banyak sekali. Dalam kurun waktu dua minggu itu sungguh aku merasakan sebuah perjuangan, perjuangan sederhana untuk mengajari seorang anak membaca, terutama Nadila yang sering disalah pahami. Meskipun, perjuangan aku itu tidak sampai ujung karena harus segera kembali ke Malang. Selama mengajar itu, aku merasakan bahagia, namun juga terus menerus bertanya tanya, sudah benarkah cara aku dalam mengajarkan anak anak itu? Sungguh aku takut sekali dalam salah dalam mengajar karena itu akan tercetak dan berbekas selamanya dalam diri anak anak itu. Juga, selama dua minggu menjadi guru TK magang benar benar memacu aku untuk belajar dan terus menerus belajar. Aku juga dibayang banyangi ketakutan ketika harus meninggalkan Nadila yang sering disalahpahami. Aku ingin membantunya untuk lolos dengan baik dalam fase kritis di proses belajar baca tulisnya ini.
Proses ini juga semakin memantabkan diri aku. Memantabkan akan sebuah keputusan masa depan yang akan aku pilih. Semoga dapat aku raih, semoga aku selalu bersetia, semoga…

Posting Komentar untuk "Catatan Guru TK Magang"