Perempuan Yang Berjuang
Gelap
menyelubung. Setitik cahaya muncul di pojok dapur berlantai tanah ini. Itu aku,
tengah menyalakan ublik untuk cethik geni.
Pagi masih begitu dingin. Kuambil sarung dan kulilitkan ke tubuhku untuk
menghalau hawa yang dingin. Kemudian aku keluar, mengambil kayu bakar yang
masih banyak dalam persediaan karena musim kemarau menjanjikan panas terik dan
tentu saja kayu kering. Kubawa ke dalam, lantas kuambil sebuah blarak dan
kunyalakan api di pawonan. Kegiatan inilah yang kusebut dengan cethik geni tadi. Setelah panci
kunaikkan, aku lantas duduk di depan pawonan, api-api untuk menghangatkan diri.
Setiap pagi,
saat fajar baru saja menjelang,
inilah aktivitasku. Memasak.Adang sego alias memasak nasi dan njangan alias memasak sayur. Putirku,
Soetartinah yang biasa kupanggil Inah, juga baru saja bangun untuk membantuku.
Ia memang telah kubiasakan sejak kecil untuk bangun pagi dan membantuku
memasak, agar ia kelak tidak kaget menghadapi kehidupan ketika ia nanti telah
hidup mandiri.
“Nah, segone ayo
ndang ditapungne!” perintahku
Inahpun dengan
sigap memasukkan nasi yang telah di karu ke dalam dandang. Kemudian ia pergi ke
kebonan belakang rumah, memetik bayam dan cabe untuk kami masak nanti.
Sementara itu, suamiku dan tole, Tidar anak laki-lakiku juga telah bangun.
Mereka sedang memberi makan kambing-kambing kami dan membersihkan kandang serta
halaman.
***
Anak anak telah
berangkat sekolah. Aku bersiap untuk berangkat ke Pasar Donomulyo, berjualan
tikar pandan. Suamiku akan membantuku mengangkut barang dagangan, lalu ia akan
pergi sawah. Mencangkul, buruh di sawah orang. Ia akan mendapatkan upah berupa
bagi hasil panenan nanti. Lumayan, paling tidak dapat kami gunakan sebagai
persediaan selama beberapa bulan.
“Buk, wes cepak
kabeh?”
“Wes pak...”,
kataku sambil menata lipatan kain.
“Ayoh age
budal...”
Kami berangkat.
Dengan memakai sepeda ontel tua, aku
duduk menyamping sambil memangku gulungan tikar pandan yang mencapai sepuluh
kilo lebih beratnya. Jarak dari rumahku ke pasar tidaklah jauh, bahkan biasanya
aku berjalan kaki saja kalau Pak’e Inah sedang repot. Mungkin hanya tujuh
sampai lima kilometer saja. Masa itu banyak orang tak punya sepeda. Sepeda kami
ini saja adalah peninggalan orang tua.
Sepanjang jalan
aku mengobrol seperti biasa dengan Bapak. Namun, aku merasakan keanehan dalam
perjalanan ke pasar. Jalanan hari itu terasa sepi. Mobil – mobil tentara tampak
berlalu lalang. Entah apa yang terjadi, namun perasaanku tak enak sama sekali.
Bapak
menurunkanku di depan pasar. Raut wajahnya tampak khawatir dan gusar. Mungkin
ia sama sepertiku, merasakan keanehan dengan keadaan saat ini. Ia kemudian
segera memutarkan sepedanya dan pulang dengan agak tergesa-gesa. Bahkan ia tak
sempat mengucapkan salam padaku dan aku belum sempat mencium tangannya.
Aku menggelar
daganganku seperti biasa. Di dalam pasar, seperti hari hari biasa, aku mengobrol
dengan penjual-penjual lain. Dari sana, kudengar kasak kusuk para pedagang dan
sedikit banyak kutangkap tentang apa yang terjadi pagi itu. Ternyata TNI AD tengah
melakukan operasi sapu bersih terhadap anggota Barisan Tani Indonesia alias
BTI. Mendengarnya, aku langsung panik. BTI? Mengapa BTI mau disapu bersih?
Disapu bersih itu bagaimana maksudnya? Ya, dihabisi kata seorang kawanku.
Deg. Lemas. Pucat. Darah seakan berhenti mengalir sejenak
dalam tubuhku. Bapak adalah anggota BTI. Ia baru bergabung beberapa bulan yang
lalu karena tertarik dengan programnya yang berpihak kepada petani kecil. Mungkinkah ini menjadi salah satu alasan
kepanikannya pagi tadi. Apa yang akan dilakukan oleh para TNI itu terhadap
anggota BTI? Terhadap suamiku? Terhadap Pak’e Inah dan Tole? Ya Allah...
Aku langsung
melompat dan berlari keluar pasar. Daganganku kutinggalkan begitu saja. Aku tak
peduli lagi, yang ada dipikiranku, di otakku adalah bapak, suamiku, ayah dari
kedua anakku, dan seseorang yang amat teramat sangat berharga dalam hidupku.
Tanpa kusadari
aku berlari nyeker tanpa alas kaki. Kakiku lecet terkena kerikil kerikil tajam
di sepanjang jalan. Pedih dan perih tak berasa lagi. Keringat mengucur deras
membahasi tubuhku, tapi bukan gerah yang kurasakan, melainkan justru dingin.
Pak... Ya Allah...
Aku langsung
membelok ke rumah dan kulongok seisinya. Kosong. Sama sekali tak ada orang.
Panik, tapi aku mencoba untuk berpikir waras dulu, kucari bapak ke sawah.
Sayangnya, sawah tidak seperti hari hari biasanya yang ramai penuh dengan orang
mencangkul atau menyiangi rumput liar, kali ini benar-benar sepi. Aku masih
mencoba berpikir waras, mungkin bapak ada di belik sedang mandi atau membuang
hajat. Ya mungkin....
Akupun berlari
menuju Belik Gayam yang letaknya ada di tepian suangai, jauh di bawah rumah.
Kakiku yang tadi hanya lecet saja, kini sudah diwarnai merah darah yang
mengucur-ngucur. Licin, beberapa kali aku terpeleset karena aku berlarian
dengan dilanda kepanikan di pematang sawah yang basah. Sekali lagi, kulongok
kamar mandi dan lagi lagi tak ada hasil.
Ya Allah... Aku
benar benar lemas kali ini. Pikiranku sama sekali sudah tak bisa diajak
berpikir waras, Bapak Ya Allah... Bapak... Dadaku menyesak dan air mata
perlahan mengaliri pipiku, asin kurasakan ketika menyentuh bibirku.
***
Dengan menenteng sabit dan bekal
berupa air putih yang kutaruh dalam tas belanja yang kugendong dengan jarik aku
berangkat. Kemarin aku diminta oleh Pak Subandi untuk membersihkan rumput liar
di halaman rumahnya. Untuk pekerjaan ini aku akan dibayar per beduk atau per setengah hari. Biasanya kedua anakku akan
menyusul dan membantuku sepulang mereka sekolah. Atau paling tidak saat sampai
di rumah, rumah telah bersih dan makan siang yang dimasak sendiri oleh Inah
telah terhidang.
Matahari sangat terik di tegah hari
musim penghujan seperti ini. Meskipun setelah itu hujan yang sangat lebat akan
turun dan rumput liar akan tumbuh dengan liarnya dimana-mana. Kerja seperti ini
memang lebih berat dan dapat uang yang jauh lebih sedikit dibanding berjualan
tikar seperti dahulu. Tapi, yah mau bagaimana lagi. Kondisi sekarang sudah
sangat jauh berbeda dengan dahulu. Dua tahun yang lalu dibangun sebuah tempat
penyaluran tenaga kerja keluar negeri. Para perempuan yang dulu merupakan
pengrajin tikar pun berbondong-bondong mendaftar dengan harapan mendapatkan
kehidupan yang lebih layak. Setelah peristiwa penuh ketakutan itu, perekonomian memang ambruk. Berjualan dan menekuni
kerajinan menganyam tikar menjadi benar-benar tidak mungkin. Tidak ada
orang yang mau membeli, makan saja sulit. Banyak perempuan yang suaminya
ditangkap dan tak pernah pulang seperti suamiku. Mereka semua harus bekerja
keras memenuhi kebutuhan hidup. Menjadi tenaga kerja wanita seperti itu
akhirnya menjadi salah satu pilihan, beberapa juga memilih untuk merantau ke
ibukota menjadi buruh upahan.
“Makkk...”,
teriak seseorang dari kejauhan. Ternyata itu adalah Inah dan Tole. Mereka
menenteng sabit. Inah membawa rantang. Kami makan bersama, karung bekas pupuk
kami jadikan alas dan masakan anak sulungku ini sedap sekali.
Di kejauhan,
kurasakan Bapak melihat dan mengawasi kami.
Posting Komentar untuk "Perempuan Yang Berjuang"