Dua Hari Menguntai Kisah di Donomulyo
Kami mulai
berangkat ke Donomulyo pukul satu siang, Sabtu, 22 April 2017. Hari ini kami akan menuju
ke rumah Bung Nanang. Ia adalah seorang pemimpin kelompok tani yang bernama
Sidogede. Kelompok tani ini ingin mengembangkan pertanian organic. Perjalanan
ke Donomulyo dilakukan dengan melalui jalur Pagak. Sepanjang jalanan ke
Donomulyo, tepatnya setelah melalui
bendungan, di bagian kiri terdapat tanaman jati dan tebing kapur. Selain
itu juga terdapat tanaman tebu yang mulai berbunga. Beberapa bagian jalan juga
rusak. Hal ini menurut Bung Putut disebabkan karena memang karakteristik tanah
di pegunungan kapur adalah tanah bergerak. Di jalan tersebut juga terdapat pos
Perhutani.
Kami sampai di
Desa Purwoasri, Dusun Purwoasri Wetan pada sore hari. Gapura yang menjadi
pembuka jalan menuju ke Desa Purwoasri Wetan tidak jauh letaknya dari Gapura
Desa Purwoasri. Jaraknya mungkin hanya sekitar lima puluh meter, kemudian belok
ke kanan. Jalanan sebelum melewati gapura Desa Purwoasri sudah aspal. Sebelum
gapura tersebut terdapat sebuah salon dengan gaya bangunan yang sudah modern
(dinding depan kaca semua), juga sebuah warung kopi bergaya kafe. Setelah
belokan menuju ke Desa Purwoasri Wetan juga terdapat sebuah rumah sakit. Rumah
sakit itu menurut Mbah juga adalah gereja. Jalanan menuju ke rumah Bung Nanang berupa
jalan macadam dari batu-batu kapur dengan kontur yang agak naik. Namun beberapa
bagian jalan juga lebih tampak sebagai jalanan aspal yang sudah rusak. Rumah-rumah
yang kami lewati kebanyakan merupakan rumah yang sudah permanen, yaitu berdinding
tembok. Jarak antar rumah cukup jauh, mungkin sekitar lima puluh meter.
Juga masih terdapat banyak kebon dan
sawah di sepanjang jalan tersebut. Sawah umumnya tersembunyi di balik
rerimbunan pohon. Sawah umumnya ditanami
dengan padi, namun ada juga yang menanam tebu, tepatnya di dekat pertigaan yang
ada pos satpamnya.
Rumah Bung
Nanang masuk sekitar lima ratus meter. Rumah Bung Nanang adalah rumah semi
permanen. Setengah dinding adalah tembok, sementara setengahnya adalah gedek
atau jalinan bambu. Rumah Bung Nanang berlantai plester. Rumah tersebut terdiri ruang tamu beralaskan
tikar, ruang tv yang menyatu dengan meja
tempat menaruh makanan, dapur, dan satu kamar tidur. Dapur Bung Nanang masih
menggunakan pawonan. Pawonan tersebut memiliki pembuangan asap di belakang yang
langsung mangarah ke tembok luar.
Kami sendiri
tidak tidur di rumah Bung Nanang nantinya, melainkan di rumah orang tua Bung
Nanang yang letaknya tepat di sebelahnya. Rumah orang tua Bung Nanang sudah
bertembok. Namun rumah tersebut tampak baru saja dibongkar karena terdapat
bekas cor-coran. Rumah orang tua Bung Nanang yang bernama Bu Jematun dan Pak
Soedomo berlantai plester kasar. Di ruang tamunya terdapat tumpukan genteng
baru. Serta beberapa karung yang berisi hasil panenan. Saat saya dan Danar
pergi kesana pada hari Selasa, 18 April 2017, di ruang tamu tersebut banyak
terdapat karung terong dan kacang. Pada saat itu, Bung Nanang memang sedang
panen terong. Namun kali ini hanya ada beberapa karung (sekitar sepuluh atau
belasan) berisi gabah.
Rumah orang tua
Bung Nanang adalah rumah yang hitungannya cukup besar. Di rumah tersebut
tinggal empat orang. Mak Tun, Pak Domo, Mbah dan putra bungsu Mak Tun dan Pak
Domo yang masih duduk di kelas tiga sekolah menenngah pertama. Mak Tun dan Pak
Domo sendiri memiliki tiga orang anak.
Semuanya laki-laki. Yang pertama adalah Bung Nanang, kedua bernama Aan. Ia
tinggal di Singosari dan sudah berumah tangga, sementara yang ketiga adalah
Sandi.
Saat kami barusaja
sampai di Donomulyo, kami pertama kali bertemu dengan Mbak Erna, istri dari
Bung Putut. Ia sedang hamil enam bulan. Sore itu ia ada di rumah, tidak pergi
ke sawah. Mbak Erna menurut penuturan dari Mak Tun mengalami lemah kandungan.
Kehamilannya ini sendiri merupakan kehamilan ketiganya. Anak pertamanya
meninggal saat berusia enam bulan di dalam kandungan karena kelelahan menjalani
perjalanan jauh dari Donomulyo ke Banyuwangi. Anak keduanya meninggal diusia
sebelas hari disebebkan keracunan air ketuban saat akan melahirkan. Mbak Erna
tidak bilang pada saat itu. Di kehamilannya saat ini, ia harus banyak
beristirahat. Sehingga ia tidak ikut ke sawah. Menurut Mak Tun, jika ia bekerja
sebenarnya tidak apa apa, efeknya baru terasa beberapa hari kemudian, yaitu
langsung glele alias lemas. Mbak Er sendiri juga tidak memasak, ia bergabung
bersama Mak Tun, namun ia selalu membantu saat memasak.
Pada saat itu,
orang-orang sedang ada di kebon yang letaknya ada di depan rumah. Pak Domo saat
kami datang masih akan berangkat sehingga kami masih bertemu. Pak Domo sendiri
di sore hari mencari rumput untuk sapinya. Sementara Mas Nanang sedang mengairi
tanaman cabainya di kebon depan rumah. Di kebonnya ditanami terong, cabai,
kacang panjang, dan sawi. Diantara guludan cabai ditanami juga dengan daun
bawang dan beberapa sawi (tidak banyak). Mas Nanang mengairi cabainya tidak
dengan menggunakan diesel. Melainkan
disiram satu persatu dengan menggunakan selang dan paralon. Alasannya karena
memang mereka tidak memiliki diesel. Sumber air untuk melakukan pengairan
sendiri berasal dari sungai. Dinaikkan ke atas dengan menggunakan listrik. Selain itu, di kebun yang kami lewati untuk
sampai ke sawah, terdapat sebuah sumur dengan paralon-paralon kecil dimasukkan
ke dalamnya. Mak Tun menuturkan bahwa paralon tersebut dialirkan ke rumah
digunakan untuk mengisi kamar mandi dan gentong. Saat mencoba untuk mengairi
cabai dengan selang dan paralon panjang tersebut ternyata agak sulit karena
selang harus disampirkan pada badan agar aliran air tidak terhambat karena
selang menekuk. Tubuh saya yang agak pendek menyebabkan tidak dapat meyampir
dengan baik, sehingga harus dipegangi agak tingggi oleh orang lain. Mas Nanang
sendiri melakukan proses penyiraman ini sendirian.
Di tengah sawah
tersebut, terdapat sebuah bangunan kecil yang hanya memiliki satu ruang. Di
dalamnya terdapat ambin kayu dan kursi. Disana juga terdapat colokan listrik.
Bangunan tersebut, menurut Mas Nanang digunakan sebagai tempat istirahat di
siang hari ketika berada di sawah. Tepat di sebelah bangunan tersebut terdapat
tong-tong dari plastic berwarna biru. Tong tersebut diikat dan ditutupi dengan
plastik. Mas Nanang berkata bahwa di dalam tersebut berisi bahan-bahan campuran
untuk menghidupkan kembali bakteri endemik yang hilang karena pengaruh
pestisida. Campuran tersebut terdiri dari susu, nanas, kentang, dan bakteri
kanibal yaitu tricoderma yang
difermentasi. Tricoderma sendiri
menjadi bakteri yang penting dalam proses ini. Sebenarnya ada jenis bakteri
yang lebih baik dibandingkan tricoderma yaitu myrcoreza. Namun bakteri
myrcoreza hanya dimiliki oleh dua kampus, yaitu UGM dan yang satunya lagi saya
lupa. Mas Nanang sendiri ingin membuktikan bahwa teori teori yang diajukan oleh
penyuluh pertanian itu tidak tepat untuk diterapkan di daerahnya. Ia menyebut
para penyuluh pertanian tersebut adalah tukang sponsor pupuk kimia.
Sawah-sawah di
sekeliling sawah Mas Nanang yang ditanami sayur mayur, rata –rata ditanami
dengan padi. Padi-padinya masih baru tanam.
Setelah puas
menengok sawah Mas Nanang, kamipun kembali ke rumah. Saat kami kembali, saya
melihat seorang ibu tengah mengocor sawi (menyirami sawi dengan alat penyiram
bunga) bersama putranya. Ternyata ibu tersebut adalah Mak Tun, ibu Mas Nanang
dan Sandi.
Di rumah, kami langsung
diarahkan untuk ke dapur. Sebelumnya Mas Putut, orang yang memperkenalkan kami
kepada Mas Nanang mungkin telah mengatakan kepada tuan rumah agar membiarkan
kami mandiri dengan memasak sendiri, mencuci piring sendiri dan sebaigainya.
Sebelum berangkat ia juga mengarahkan kami agar paling tidak membawa minyak goring,
gula, dan kopi untuk diserahkan kepada tuan rumah. Kedatangan kami ke sini
sebenarnya adalah untuk mengikuti agenda pertemuan selapanan (tiga puluh atau
enam ) anggota kelompok tani Sidogede. Pertemuan ini dimaksudkan untuk
melestarikan budaya Soyo. Pertemuan itu digelar setiap malam Minggu Pon.
Di dapur, tampak
Mbah sedang mempersiapkan kayu untuk cethik geni. Di atas tungku tersebut
terdapat ublik yang menyala. Saya dan Rethiya berkata kepada Mbah bahwa kami
ingin belajar menyalakan api. Tetapi saat kami duduk disebelah Mbah untuk minta
diajari Mbah malah pergi kebelakang. Kami bingung. Kami berdua hanya diam
melihat dan memainkan kayu-kayu yang dibawa oleh Mbah tadi. Sementara Nacil dan
Mbak Resti sibuk mempersiapkan bumbu untuk mengolah terong dan kacang.
Kami tetap diam
melihati kayu. Kami menunggu Mbah datang. Lalu, teman Mas Nanang yang lupa saya
tanyakan namanya datang dan menggodai kami dengan berkata bahwa “Disawangi tok
kayune yo kapan mateng e?”, alias, jika kayunya hanya dilihat terus kapan
masakannya matang. Saya dan Rethiya hanya tersenyum bingung. Kemudian seorang
perempuan yang merupakan istri dari teman Mas Nanang tadi membantu kami. Ia
membawakan seikat blarak, memasukkan kayu-kayu ke pawonan dan menyulut blarak
di ublik yang menyala tadi kemudian memasukkannya ke dalam pawonan. Lalu taraa
pawonanpun menyala. Sambil menyalakan pawonan tadi ia berkata kalau menyalakan
api begini sudah pekerjaannya sehari-hari. Lalu Mbah datang, teman Mas Nanang
tadi juga datang. Ia memberitahu Mbah tentang apa yang kami lakukan tadi.
Mbah ternyata
menyalakan api tadi untuk memasak air yang akan ia gunakan untuk mandi. Mbak
Erna sendiri dari depan dapur yang juga merupakan bagian dari halaman samping
baru saja tapen. Ayam ayam mengurumuninya saat ia tapen tadi, memakan menir
menir yang dibuang. Beras yang ia tapen itu ternyata akan dimasak untuk kami
makan nanti. Beras tersebut dimasak di pawonan bagian depan. Pawonan yang kami
gunakan untuk memasak sendiri terdiri dari empat lubang, namun hanya dua lubang
yang kami gunakan. Bagian depan untuk memasak nasi dan bagian belakang untuk
memasak air bagi Mbah. Menurut Mak Tun, pawonan tidak dinyalakan semuanya
karena jika dinyalakan semua, kayu akan menumpuk di dalam dan api sulit
menyala. Sementara itu, teman Mas Nanang tadi kembali datang, ia membantu
memasangkan gas untuk digunakan oleh kami memasak.
Hari mulai sore,
Mbah mulai memasukkan ayam-ayamnya ke dapur. Ayam-ayam itu dimasukkan ke dalam
rinjing. Tetapi lebih dahulu Mbah memberikan jagung untuk makan ayam-ayam
tersebut. Kurang lebih ada empat rinjing yang digunakan untuk menutupi
ayam-ayamnya. Di dalamnya bisa ada satu ayam remaja (pitik doro) atau induk
ayam beserta anak-anaknya. Ayam-ayam tersebut sengaja dikandangkan di dalam
rumah, agar tidak dimakan (diserang) oleh ayam-ayam besar yang dikandangkan di
kandang luar sebelah kandang kambing.
Keluarga ini
memiliki beberapa peliharaan diantaranya ayam, kambing, dan sapi. Ia juga
memiliki seekor kucing jantan bernama Bolang dan seekor anjing bernama Dogi.
Mbah dan Mak Tun sangat menyayangi Dogi dan Bolang. Mbah Bahkan memanggil
Bolang dengan panggilan “Le” , seperti panggilan sayang untuk seorang anak
laki-laki. Mak Tun agak mengejek Mbah saat melakukannya. Apa yang dilakukan
Mbah ini hampir sama dengan Mbah Sal, nenek saya di Kediri. Ia begitu
menyayangi ayamnya dan memanggilnya dengan sebutan Nduk dan Le. Kandang ayam dan kambing Mbah terletak di
utara rumah, sementara kandang sapinya terletak di selatan rumah. Sapi Mbah
adalah sapi betina. Sapi itu memiliki tanduk, kata Mbah sapi jika tidak
bertanduk disebut Dugul. Sapi Dugul menurut Mbah jika dijual berharga lebih
baik, karena katanya varietasnya lebih mahal. Kotoran sapi dan kambing dimanfaatkan
sebagai pupuk. Kambing sendiri kandangnya dibuat panggung agar kotorannya lebih
mudah untuk diambil.
Api di pawonan
perlahan lahan mulai mati, karena saya dan Rethiya terus menerus memindahkan dan
memainkan kayunya khawatir padam. Mak Tun lalu datang, ia mengatakan agar tidak
udah diutik terus kayunya. Lalu ia menata kayunya dengan membukanya sehingga
kayu-kayu di dalam pawonan mengumpul dan api menyala dengan lebih baik dan
besar.
Saat sedang
cethik geni, Mbah mengatakan bahwa untunglah kami datang hari ini, karena jika
kemarinnya rumah kosong karena semua orang sedang Biyodo. Biyodo di Kediri disebut dengan rewang. Yaitu
membantu rumah tetangga atau sauadara yang sedang punya hajat mantu. Entah
untuk membantu memasak atau melayani tamu (laden-laden). Biyodo hanya dilakukan
jika rumah satu keluarga didatangi dan dimintai tolong oleh keluarga yang punya
hajat. Jika tidak dimintai ya tidak
datang. Warga disini juga masih terikat dengan tradisi buwuhan atau becekan,
yaitu mendatangi rumah orang yang sedang punya hajat dan membawa beras, mi,
gula, atau sejumlah uang. Buwuhan di Bulan Besar atau Syawal bisa sangat banyak
dan kata Mas Nanang menghambat perekonomian. Dalam sehari, ketika musim orang
mengadakan ewuh bisa ada lima buwuhan. Saat kami disanapun Mas Nanang juga
buwuh, bukan tetangganya melainkan ke Malang, agak jauh.
Kami memasak
terong dan kacang panjang. Sayur-sayuran tersebut dipetuk dari kebun depan
rumah yang tadi kami datangi. Terung yang kami makan tampak bukan terong yang
kulitnya mulus, bukan yang bagus bagus, namun masih baik untuk dimakan. Terong
yang kami makan adalah terong hijau.
Saat memasak
kami bergiliran mandi. Kamar mandi Mak Tun dan kamar mandi Mas Nanang menyatu,
letaknya tepat dibelakang dapur Mak Tun. Kamar mandi itu terdiri dari dua
bilik. Satu untuk WC dan satunya kamar mandi. Bak mandi rumah ini sangat besar
dan hanya di plesteran. Air disii dengan
menggunakan selang. Airnya cukup jernih. Karena letak sanyonya jauh, ketika air
penuh, Mak Tun memindahkan selang ke gentong, baru mematikannya. Pintunya
menggunakan pintu plastik. Di depannya, menghadap halam belakang terdapat
gentong dan tempat cuci piring. Tempat cuci piring disini sama dengan yang ada
di Blora yaitu menggunakan dua ember, pertama untuk membilas sabun dan kedua
untuk membilas sisa-sisanya. Tempat cuci piring itu ditaruh di atas meja kayu.
Air cucian piring langsung dibuang ke halaman. Di dekat tempat cucian piring
tersebut terdapat gentong plastik besar yang sudah pecah. Mak mengatakan belum ada uang untuk beli yang
baru. Air dialirkan ke gentong itu dengan keran. Selain gentong itu, terdapat
ember cat besar dua buah untuk menampung air. Di depan tempat cucian piring
itu, kira kira tiga meter jaraknya terdapat bekas bangunan kamar mandi tanpa
atap. Yaitu hanya berupa bilik semen saja. Namun saya pernah meilhat Mbah mandi
disana. Ia mandi dengan memakai jariknya sebagai kemben.
Setelah usai
mandi, kamipun makan. Seusai makan, kami mengobrol sejenak, baru kemudian
berangkat ke rumah warga yang dijadikan tempat pertemuan. Rumahnya agak dekat
ke jalan raya. Saat malam hari suasana dusun tersebut cenderung gelap. Tidak
ada lampu jalan dan warga tidak menyalakan lampu depan rumahnya.
Kami sampai.
Tuan rumah tampak sudah menunggu di depan . Ia menyalami kami satu persatu. Di
dalam ruangan tersebut didominasi oleh kaum lelaki. Entah bapak-bapak atau
pemuda. Hanya kami berempat perempuan dalam ruangan tersebut. Setelah menyalami
semuanya kami memilih duduk di pojok ruangan. Orang-orang tampak mengobrol,
dalam pandangan mataku mereka mengobrol dengan berkelompok, dua atau tiga orang yang saling berdekatan. Kami
diberikan absen, untuk diisi dan ditandatangani. Setelah ruangan mulai penuh,
acarapun dimulai. Kemungkinan yang hadir pada saat adalah dua puluh orang.
Semuanya lelaki.
Dalam pertemuan dibahas
banyak hal Mulai dari agenda untuk menghadiri pertemuan dengan serikat
pertanian lain di Situbondo. Ditanyai siapa yang bersedia ikut. Diawal
dikatakan bahwa yang ikut lima orang dengan menyewa mobil. Mereka akan berangkat
pada tanggal 25 April. Namun ketika ditanyai ternyata sedikit yang berantusias
untuk ikut. Alasan mereka rata rata karena mabukan atau tidak ada yang mengurus
sawah dan ternaknya jika ditinggal jauh seharian. Akhirnya, beberapa orang bersedia ikut, salah
satunya Mas Nanang. Pembicaraan kemudian dialihkan kepada Bung Putut. Bung
Putut membicarakan mengenai Reforma Agraria Jokowi yang dikatakannya sebagai
reforma agrarian palsu. Karena sebenarnya merupakan agenda internasional untuk
memasukkan modal ke Indonesia. Dengan adanya sertifikat tanah, maka kini tanah
dapat digunakan sebagai agunan di bank. Para warga tampak hanya sedikit yang
antusias untuk mendengarkannya. Kemudian Mas Nanang bercerita tentang metode
Hazton yang coba ia pratekkan. Penanaman Hazton baru dicoba di tiga petak sawah
Mas Nanang (Tidak semuanya lahan) dan sawah Mas Dodik. Di sawah Mas Nanang
ditanami MRP 8, sementara di sawah Mas Dodik MRP 13. MRP 8 memiliki malai yang
lebih panjang, sehingga menghasilkan hasil panenan yang lebih banyak. Sementara
MRP 13 menghasilkan panenan yang lebih sedikit, namun rasanya lebih enak.
Sistem penanaman Hazton sendiri adalah sistem penanaman dengan banyak bibit.
Dalam satu rumpun bisa ditanam dua puluh sampai tiga puluh bibit. Harapannya
dengan penanaman yang rengket ini, tanaman akan lebih tahan terhadap hama.
Warga tampak antusias ketika mendengarkan pemaparan mengenai metode pertanian
ini.
Kami lalu
menjelaskan maksud kedatangan kami dan apa yang dapat lakukan.. Setelah itu
forum merenggang. Semua diam dan kami mengobrol masing-masing. Tak lama, forum
ditutup. Beberapa warga tampak langsung kembali, namun banyak juga yang masih
asyik bercengkrama. Pertemuan itu adalah pertemuan yang seerhana. Hidangan yang
disediakanpun hanya segelas teh.
Rasanya mata
saya berat sekali. Kamipun pulang. Jalanan gelap. Saya kini yang bertugas
membonceng Rethiya. Di jalan ia agak ketakukan karena kami di belakang dan ia
yang paling belakang. Orang-orang menyalip kami, termasuk Bung Nanang dan Mas
Putut. Sesampainya di rumah, ternyata kamipun tidak langsung tidur. Melainka
kami mengobrol, ada Mas Nanang, Mas Dodik, dan Mas Imam. Mas Imam bercerita
tentang masa lalu. Yaitu ketika ia masih sekolah. Ia berkisah jika ia hanyalah
lulusan SD, dulu saat sekolah SMP tidak
sampai lulus. Alasannya, ia dulu ke sekolah SMP 1 Donomulyo dengan berjalan
kaki, jauhnya sekitar tujuh kilometer. Saat sampai di sekolah ia kelelahan,
lalu diajar bahasa Inggris. Kemudian ia keluar. Hal serupa banyak terjadi di
warga desa lainnya berdasarkan keterangannya.
Saat hampir
tengah malam, mas Imam pulang dan kami tidur sekitar pukul satu malam.
***
Kami bangun
terlalu siang yaitu pukul setengah enam pagi. Mak dan Mbah sendiri bangun saat
subuh, yaitu pukul setengah lima pagi. Saat saya bangun, saya lihat keluarga
itu sudah mulai beraktivitas. Mbah menyapu bekas kotoran ayam-ayamnya yang
semalam di kandangkan dalam rinjing-rinjing bambu di dapur.. Sementara emak menyalakan
api untuk memasak. Rencananya kami hari ini akan memasak bakso yang dibawa oleh
Mbak Resti kemarin. Mak lalu menyuruh kami untuk pergi ke ladang depan rumah.
Kami disuruh untuk memetik daun bawang atau bawang preh sebagai pelengkap
memasak bakso.
Di ladang agak
becek. Daun-daun tanaman masih basah oleh embun. Kami tadi oleh emak disuruh
untuk memetik bawang preh yang besar. Bawang preh – bawang preh itu ditanam di
pinggiran guludan cabai. Kami bingung memilih mana yang paling besar, karena
bawang-bawang tersebut banyak yang
besar-besar. Kamipun mencabut dua batang dan membawanya pulang. Keluarga ini
memanfaatkan hasil pertaniannya seperti terong kacang dan gabah untuk konsumsi
sehari-hari. Saat kami makan, bapak bahkan mengatakn untuk jangan malu-malu
nambah, katanya tenang saja karena gabahnya masih banyak. Terong dan kacang
panjang tidak dikonsumsi semua, namun dijual.
Dua batang daun
preh yang kami cabut ternyata kebanyakan. Satu bawang preh sudah lebih dari
cukup untuk dimasak. Kami merasa bersalah, tetapi Mak dengan tenang berkata
bahwa bawang preh itu bisa ditanam lagi. Caranya dengan dibiarkan selama
beberapa hari kemudian bagian atasnya dipotong lalu siap di tanam. Kamipun
lega, karena tidak ada yang sia – sia. Disini aku merasa praktis dan nyaman
sekali menjadi petani. Makan mengandalkan hasil dari kebun, jika ambil
kebanyakan seperti tadi masih dapat ditanam lagi.
Kami memasak
makanan di kompor gas, sementara Mak memasak nasi di pawonan. Saya heran kenapa
Mak masak nasi lagi padahal nasi yang semalam masih banyak. Namun emak santai
saja. Ia bilang nasi ini untuk makan nanti siang saja. Nasi yang kemaren
dihangatkan lagi. Keluarga ini tidak memakai magic com. Nasi kemaren di taruh
diatas lengser atau baki plastic yang diisi air. Tujuannya adalah agar tidak di
datangi semut. Emak mengambilnya dan memasukkan nasi itu ke dandang setelah
sebelumnya nasi yang baru masak diangkat dan ditaruh ke tempat tadi. Sebelumnya
saya mengira nasi kemarin itu akan dikeringkan dan dijadikan karak.
Hari ini Mak
menyuguhkan gatot. Gatot adalah makanan tradisional masyarakat Jawa. Orang Jawa
Timur dan Jawa Tengah mengenalnya. Gatot merupakan olahan dari gaplek yang
asalnya adalah ketela. Mengolah gatot cukup ribet dari gaplek direndam, di
potong-potong, dikeringkan lagi, kemudian di rendam lagi, baru kemudian di dang
(dikukus). Mak membuat gatot bukan sengaja untuk kami. Ia memang membuatnya
untuk dijual. Nanti akan ada orang dari
Malang yang mengambilnya setiap hari pasaran tertentu. Gatot memiliki rasa
tawar dan teksturnya kenyal. Warna coklat kehitam-hitaman. Nenek sering mengatainya
dengan jelek rasanya tetapi enak rasanya. Ia merupakan salah satu jenis jajanan
pasar. Gatot disajikan dengan parutan kelapa dan sedikit garam atau gula.
Para perempuan
memang sibuk di dapur. Kami menyajikan gatot tersebut kepada teman-teman yang laki-laki.
Juga wedang kopi. Sementara kami melanjutkan memasak. Memasak, membuat wedang
menjadi tanggung jawab perempuan. Namun, meski demikian bukan berarti para
perempuan hanya terkungkung di dapur. Mak juga pergi ke sawah, bapak tadi pagi
juga menyapu halaman, menghilangkan bekas kotoran dogi . Mbah juga nyisikki
kayu bekas ramban (daun-daunan) pakan kambing. Mbak Erna ketika sedang tidak
hamil dan sedang sehat menurut Mak juga bekerja seperti dirinya, ke sawah juga.
Ada hal yang
menarik disini. Dapur menjadi tempat bercengkerama keluarga. Seringkali kami
mengobrol sambil api-api di depan pawonan. Atau duduk di kursi panjang yang
disediakan di depan pawonan dan meja makan maupun di kursi kayu yang mirip
kursi taman yang ditaruh di dekat jendela sambil makan jajanan dari buwuhan.
Dapur Mak masih berdinding tembok, ada tumpukan glugu, dan berlantai tanah.
Lampunya pun masih remang-remang. Mirip dapur nenek saya dulu ketika belum
diperbaiki dan dapur teman-teman bapak yang saya lihat saat berkunjung. Energinya
sama.
Sekitar pukul
Sembilan, makanan siap. Kami makan bersama-sama (saya dan teman-teman). Mas
Nanang sedang sibuk di depan mengaduk kalsium karbonat untuk pupuk, sehingga ia
mempersilahkan anak anak untuk makan terlebih dahulu.
Sebelum makan,
saya tadi sempat menanyakan kepada Mak apakah ia tidak pergi ke sawah? Mak
menjawab bahwa ia akan pergi, tapi menunggu sekitar jam sembilan. Ketika air di
daun mulai menguap. Air itu nanti akan mebuat tangan dingin.
Setelah makan
dan mencuci piring, kami bersiap pergi ke sawah. Di sawah kegiatan kami adalah memupuk tanaman.
Tanaman di pupuk dengan menggunakan kalsium karbonat. Mas Nanang tidak
menggunakan pupuk kimia selain berharga lebih mahal, ia juga sedang merintis
bertani secara organik. Pemupukan terhadap padi dilakukan dengan disawur. Pupuk
disawur diantara dua baris padi. Warna pupuk tersebut mirip abu. Sementara itu,
tanaman yang tidak memakai pupuk kimia warnanya agak kekuningan bukan hijau.
Saat sudah agak besar nanti akan berubah jadi hijau. Memupuk cukup berat.
Karena kaki kami masuk ke lumpur yang tingginya hampir selutut. Kami harus
berjuang menjaga keseimbangan agar langkah kami tidak merusak padi-padi sambil
membawa ember berisi pupuk. Bersama kami, Mas Nanang memupuk dengan Mak.
Pemupukan dilakukan dua kali saat baru ditanam juga saat mendekati masa
berbuah.Pemupukan kali ini adalah pemupukan pertama. Namun ini hanya jika
memakai bukan pupuk pabrik. Jika memakai pupuk pabrik pemupukan yang dilakukan
lebih dari itu.
Di dekat sawah
masih ada beberapa rumah, namun jaraknya jauh-jauh. Di sekitar sawah tersebut
banyak terdapat tugu dengan tanda salib di atasnya. Tugu itu bergambar diorama
penyalipan yesus. Tugu ini juga ada di depan rumah warga, sepertinya dahulu
pernah ada gereja di sekitar sini. Saya mengira jika di daerah ini dahulu
adalah lokasi pemukiman yang padat, karena juga terdapat bekas sumur serta
kamar mandi. Saya mengetahuinya saat setelah dari sawah kemudian mencuci kaki.
Kemudian lokasi pemukiman itu ditinggalkan karena peristiwa Gestapu. Anggapan
ini meuncul karena cerita Mas Nanang sebelumnya bahwa wilayah ini dahulu
merupakan basis Barisan Tani Indonesia. Sehingga pada saat Gestapu banyak warga
yang dihabisi. Lalu ada aksi tutup mulut. Hal ini ikut berpengaruh pada
kapribadian warga yang cenderung tertutup.
Kegiatan
pemupukan yang kami lakukan ternyata memakan waktu cukup lama. Lebih dari tiga
jam. Padahal kata Mak biasanya ia dengan Mas Nanang jika memupuk Dhuhur sudah
selesai. Mereka memang cepat sekali mempuknya. Kami baru dapat setengah, Mas
Nanang sudah hampir dua. Mak juga begitu. Usianya sudah enam puluh tahunan
namun ia masih tampak bugar dan sehat. Kami selesai memupuk sekitar pukul
setengah satu siang. Kemudian kami pulang, mandi. Dan baru setelah itu terasa
badan kami sakit semua. Padahal saat di sawah tadi tidak terasa lelahnya.
Pulang dari sawah, kami dan emak memasak untuk makan siang. Biasanya, emak
memang hanya memasak di pagi hari saja. Mungkin karena ada kami.
Saat memasak sebenarnya saya sudah tidak kuat,
ingin tidur saja rasanya. Bagi saya, makan makanan tadi pagi juga tidak apa
apa, tidak makan dulu juga tidak apa apa. Namun saya tidak enak dengan Mak.
Saya merasa benar-benar kagum dengan Mak. Ia masih tampak segar. Pulang dari
sawah, berlelah-lelah, ia belum istirahat, kemudian memasak. Apalagi nanti
sore, ia masih harus ke kebun lagi untuk mengocor sawi. Mengocor sawi
menggunakan alat siram-siram yang ukurannya cukup besar. Ia mengocor sawi hanya
berdua dengan Sandi. Ia yang mengocor, Sandi yang mengangkut air. Sandi sendiri
belum kuat untuk mengocor karena harus membawa alat siram itu untuk waktu lama.
Sebenarnya, sore harinya kami juga
berencana untuk ikut Mak ngocor, tetapi badan kami tidak kuat. Kami tertidur
sampai hampir magrib.
Saat sesudah
makan dan sebelum tidur, kami sempat mengobrol-ngobrol dengan Mas Nanang. Ia
menceritakan bahwa ia bersama kelompok petaninya sedang mencoba untuk mengikuti
hitungan-hitungan Jawa untuk melakukan kegiatan pertanian . Misalnya,
masyarakat Jawa pada zaman dahulu mengenal penanggalan dengan hitungan satu
windu atau delapan tahun. Dimana, dipercaya bahwa setiap satu windu, pada hari
yang sama kondisi alam akan sama dengan satu windu sebelumnya. Ada dua jenis
windu, pertama windu adi dan windu Samudra. Di Windu Adi, selama dua tahun maka
cuaca akan kering, sementara di windu samudro, cuaca akan cenderung hujan
selama dua tahun. Sehingga, dengan mengikuti penanggalan tersebut, ketika windu
samudro petani bisa menanam padi
sepanjang tahun karena hujan terus turun. Menurut hitungan Jawa, saat ini
tengah berlangsung Windu Samudro sehingga terus menerus hujan. Mas Nanang dan teman-temannya sedang meniteni,
sehingga jika benar akan mereka terapkan.Mas Nanang memang tertarik dengan hal
berbau hitungan – hitunganjawa terkait hubungan dengan alam. Saat saya
bercerita bahwa Mbah Lanang saya memiliki buku dengan tulisan berbahasa jawa
yang isinya hitungan-hitungan tersebut ia tampak tertarik. Sayang, saya yang
tidak terlalu paham.
Di malam hari,
saya mengobrol dengan Mbah yang duduk duduk di ambennya yang letaknya di dapur.
Saya banyak bertanya tentang kondisi desa ini pada zaman dahulu. Ada banyak
kisah menarik. Dahulu, kata Mbah, orang di desa ini tidak punya kamar mandi
sendiri-sendiri. Sehingga mereka mandi di belik-belik. Belik adalah sekat
penutup mandi. Belik-belik itu dibangun dekat sumber sumber air. Dari cerita
Mbah ada dua belik, pertama Belik Andong karena di dekat belik tersebut
terdapat pohon andong dan Belik Gayam yang di dekatnya terdapat pohon
Gayam. Belik andong, airnya diambil dan
dimanfaatkan oleh rumah sakit. Jaraknya cukup jauh padahal. Sementara belik
Gayam sendiri airnya dipakai oleh warga untuk kegiatan mandi. Rumah Mak juga
memakai air dari Belik Gayam untuk mandi. Sementara untuk minum memakai air
dari sumur. Bapak disini juga menjelaskan bahwa air sumur itu dipakai saat
musim kemaru, jika hujan pakai air dari Belik Gayam. Sehingga, jika misalnya
kemarau mereka tidak perlu kebingungan karena pakai dari sumur sendiri. Mbah
juga menceritakan terkait tugu tugu bergambar kisah Yesus disalip tadi. Tugu
berisi kisah yesus dekat sawah, dibangun saat Kristen masuk, yaitu saat Mak Tun
kecil, sekitar tahun 1957. Jadi, Kristen masuk ke desa itu baru-baru saja.
Tugu-tugu tersebut ternyata benar merupakan bagian gereja. Gerejanya berada di
rumah sakit. Rumah sakit itulah gereja. Namun jika dilihat dari luar, gerejanya
tidak kelihatan.
Di desa itu
sendiri terdapat agama Islam, Hindu, dan Kristen, serta aliran
kepercayaan.Namun kultur di desa ini sendiri guyb. Mereka tidak memikirkan agama
atau aliran asalkan rukun. Jika sedang
hari raya nyepi, maka islam Kristen dan aliran kepercayaan akan ikut menggotong
ogoh-ogoh. Jika sedang mendekati natal, merekapun bekerja bakti untuk
membersihkan jalan menuju goa Maria. Di Goa ini dipercaya dahulu pernah ada
penampakan Bunda Maria. Begitu juga jika sedang hari raya islam. Warga desa ini
juga tidak terlalu suka jika ada warga yang terlalu fanatic. Misalnya ada orang
LDII di desa ini. Saat ada hajatan mereka tidak mau disalimi karena bukan
muhrim. Sama orang-orang diancam jika nanti nanti tidak mau disalimi saat ada
acara, maka warga satu desa tidak akan mau buwoh ke orang itu lagi. Semenjak
saat itu, orang LDII mau bersalaman. Orang-orang LDII itu jika sama warga akan
bersikap biasa,bergaul dengan warga-warga. Tapi jika bersama orang alirannya
mereka akan bersikap sesuai ajarannya. Bagi warga sini agama seakan menjadi
nomor dua, yang penting rukun.
Lanjut ke cerita
Mbah. Mbah juga bercerita kehidupan orang di masa lalu. Untuk urusan kebersihan
dan mandi salah satunya. Mereka tidak mandi memakai sabun, melainkan
menggunakan mengkudu. Untuk kebersihan gigi, ternyata orang jaman dahulu tidak
semua nginang. Seperti sekarang, hanya orang tua-tua yang nginang. Mbah pun
masih nginang. Bahan untuk nginang adalah sirih, kapur, dan gambir. Gambir
digunakan sebagai penawar kapur yang getir. Menginang berasa getir dan lidah
seperti terasa mati rasa. Namun, jika dikunyah kunyah lagi rasanya lumayan juga. Mbah nginang juga nyusur. Nyusur
menggunakan tembakau. Saat saya ingin mencoba nyusur dilarang oleh Mbah. Orang
jaman dulu membersihkan gigi dengan menggunakan batu bata yang dihaluskan. Terakhir,
yang paling menbuat saya heran, dahulu orang keramas dengan menggunakan lumpur,
dan kata Mbah rambut akan lebih bagus jika pakai lumpur. Penggunaan kamar mandi
di rumah sendiri-sendiri, juga baru ada akhir-akhir ini saja.
Ternyata, Mbah
pun jaman dahulu tidak bertani. Ia adalah seorang pedagang. Ia dulu berjualan
tikar. Ia berjualan di Kepanjen. Tikarnya mengambil dari Pasar Donomulyo. Mbah untuk
pergi ke Donomulyo, Mbah hanya berjalan kaki, juga ketika ke Kepanjen. Dahulu
banyak pengrajin tikar di Donomulyo, namun semenjak ada penampungan TKI, para
pengrajin beralih profesi menjadi tenaga kerja wanita diluar negeri. Sehingga
jumlah pengrajin semakin sedikit.
Malamnya, kami
bercerita dengan Mas Nanang. Mas Nanang banyak menceritakan kisah lucu yang
dialami oleh warga sini. Banyak kisah yang jenaka. Kisah – kisah yang
diceritakan oleh Mas Nanang juga menunjukkan kecerdikan warga sini, yaitu punya
banyak akal. Misalnya kisah warga yang saya lupa namanya. Ia bekerja sebagai
sopir, di tengah jalan ia bertemu begal. Ia, untuk menyelamatkan diri memiliki
cara cerdik, yaitu dengan megisahkan kesulitan hidupnya . Sehingga si Begal
merasa kasihan dan akhirnya menjadi teman baik. Benar benar seperti kisah
Abunawas. Ada juga kisah lain, misalnya ia yang menbohongi bosnya agar mau
tinggal di pantai di lokasi kerja agar si bos merasakan kesulitan hidup dari
pekerja kelas bawah seperti dirinya.
Posting Komentar untuk "Dua Hari Menguntai Kisah di Donomulyo"